Jakarta, CNN Indonesia -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengingatkan pemerintah dan Bank Indonesia akan risiko pelarian modal di tengah euforia membanjirnya dana-dana spekulatif asing (
hot money).
Dzulfian S, Ekonom Indef, menilai derasnya aliran modal masuk ke dalam negeri belakangan ini menunjukkan kondisi investasi yang berkebalikan dengan kondisi beberapa tahun terakhir. Apabila di era sebelumnya investasi di Tanah Air dibayangi oleh ancaman pelarian modal (
capital outflow), maka saat ini justru sebaliknya di mana modal yang masuk (
capital inflow) cukup agresif.
Kandidat doktor di Universitas Durham, Inggris ini mengatakan, setidaknya ada dua hal utama yang memicu penanaman modal asing di Indonesia. Pertama, kepastian kenaikan suku bunga the Fed (Fed Fund Rate/FFR) beberapa bulan lalu membuat pasar-pasar keuangan di dunia, termasuk Indonesia menjadi lebih stabil dan pasti.
Kedua, lanjutnya, kebijakan suku bunga negatif yang diterapkan oleh negara-negara maju, khususnya Jepang dan negara-negara Eropa, menyebabkan investor asing menarik uangnya di Eropa dan ditanamkan di negara-negara yang lebih menguntungkan, seperti Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sayangnya, modal yang masuk ke Indonesia itu masih bersifat 'hot money'. Salah satu instrumen yang paling digemari investor asing berinvestasi di Indonesia adalah obligasi atau surat utang pemerintah karena imbal hasil (
yield) yang ditawarkan sangat tinggi berkisar 6-8,5 persen," ujarnya kepada CNN Indonesia, Sabtu (2/4).
Kondisi itu tergambar dari pernyataan Bank Indonesia (BI) beberapa hari lalu, yang menyebutkan bahwa terjadi kenaikan Kewajiban Finansial Luar Negeri (KFLN) yang lebih besar dari Aset Finansial Luar Negeri (AFLN).
Menurut Dzulfian, tingginya modal asing yang masuk ke obligasi pemerintah ini harus diwaspadai oleh Pemerintah. Sebab, jika terjadi penarikan modal secara tiba-tiba (
sudden revearsal), hal ini justru kontraproduktif bagi perekonomian nasional khususnya sektor keuangan. Dia mengingatkan bahwa sekitar 40 persen obligasi pemerintah dan 60 persen pasar modal Indonesia dimiliki investor asing.
Dia menilai mahalnya imbal hasil obligasi pemerintah ini menunjukkan bahwa kepercayaan investor terhadap Indonesia itu cukup rendah sehingga para investor meminta kompensasi berupa premi risiko yang tinggi.
"Apa yang dilakukan oleh 'Lapangan Banteng' (Kementerian Keuangan) dan 'Thamrin' (Bank Indonesia) sejauh ini tidak sinkron, ditunjukkan oleh masih tingginya imbal hasil yang ditawarkan oleh obligasi Pemerintah," katanya.
Hal ini, lanjutnya, tidak sejalan dengan kebijakan moneter yang dilakukan BI dalam beberapa bulan terakhir, yang cenderung ekspansif dengan memotong BI rate beberapa kali.
"Seharusnya obligasi pemerintah dapat turun perlahan sebagaimana BI rate, misalkan untuk tenor 10 tahun bisa turun perlahan ke level 7,0-7,5 persen, bahkan bisa lebih rendah lagi jika Pemerintah mampu meyakinkan dan meningkatkan kepercayaan investor," jelasnya.
Apabila pemerintah tidak segera menurunkan imbal hasil obligasinya, tambah Dzulfian, dikhawatirkan justru akan terjadi kekeringan likuiditas di pasar keuangan domestik karena bank-bank harus berkompetisi dengan obligasi pemerintah. Hal ini justru akan kontraproduktif bagi perekonomian nasional, di mana kebijakan moneter ekspansif yang telah dilakukan oleh BI tidak akan efektif.
(ama)