Jakarta, CNN Indonesia -- PT Pertamina (Persero) tak menampik tercatatnya nama perusahaan minyak pelat merah ini dalam daftar nasabah Mossack Fonseca, firma hukum yang menawarkan jasa manajemen investasi di luar negeri yang disebut International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) kerap menjadi ajang penghindaran pajak.
"Harus dicek dan didalami dulu itu daftar apa dan tahun berapa. Setiap tahun kami taat bayar pajak," ujar Vice Presiden Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro saat dihubungi, Selasa (5/4).
Seperti diketahui, selain beroperasi di negara besar seperti Russia, China dan beberapa negara di kawasan Eropa, Mossack Fonseca juga menyasar negara-negara berkembang di Asia termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari daftar panjang klien Mossack Fonseca yang tersebar luas secara daring, terdapat ratusan pengusaha asal Indonesia dan korporasi besar seperti PT Energi Mega Persada Tbk, PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT London Sumatra Indonesia Tbk sampai Pertamina menjadi nasabah dari Mossack.
Menanggapi masuknya nama perseroan dalam daftar tadi, Wianda kembali menegaskan bahwa Pertamina taat terhadap kewajiban pajak yang berlaku di Indonesia.
"Bertahun-tahun kami merupakan penyetor pajak terbesar ke negara. 2015 lalu kami bayar Rp72,5 triliun dan 2014 itu Rp65 triliun," tegasnya.
Bank InternasionalPada kesempatan yang sama, dua perusahaan manajer aset raksasa Credit Suisse dan HSBC membantah telah membantu para kliennya guna menjadi investor dari Mossack Fonseca.
Selain dua perusahan tersebut, dalam dokumen yang dilaporkan International Consortium of Investigative Journalists ICIJ melalui 'Panama Papers' terdapat pula nama 10 bank yang membantu kliennya dalam mencari perusahaan bayangan dengan tujuan penghindaran pajak.
CEO Credit Suisse Tidjane Thiam mengatakan bank-nya hanya menargetkan aset dan investasi yang sah di mata hukum.
"Kami sebagai perusahaan, hanya mendukung investasi dengan tujuan ekonomi yang jelas dan sah secara hukum," ujar Thiam dilansir dari Reuters.
Thiam juga mengatakan perusahaan asal Swiss tersebut memang biasa membantu kliennya dalam mencarikan perusahaan bayangan di negara lain yang memilki potensi untuk ditanami investasi, namun ia menegaskan Credit Suisse hanya akan melayani pelanggan yang memiliki misi yang legal dan bukan untuk menghindar dari kewajiban pajak di negaranya masing-masing.
"Kami tidak mentolerir struktur untuk penghindaran pajak. Setiap kali ada struktur dengan penerima manfaat pihak ketiga kita bersikeras untuk mengetahui identitas penerima itu," tegasnya.
Sementara itu juru bicara HSBC Hong Kong Garet Hewett mengatakan tuduhan yang dilontarkan dalam dokumen Panama sangat tidak mendasar dan data-data yang digunakan tergolong usang.
"Beberapa tuduhan tersebut menggunaan data sekitar 20 tahun lalu, dan tidak sejalan dengan reformasi bisnis HSBC saat ini," katanya.
Sebagai informasi, pada Mei 2014 lalu Credit Suisse pernah membayar denda sebesar US$2,5 miliar kepada pemerintah Amerika karena telah membantu orang-orang kaya di negeri Paman Sam itu menghindar dari pajak. Beberapa manajer kekayaan yang berbasis di Swiss, termasuk UBS Group AG, juga harus membayar denda yang besar kepada Amerika Serikat untuk alasan yang sama.
HSBC, yang juga memiliki operasi pengelolaan kekayaan di Swiss, pada 2012 juga pernah membayar denda sebesar US$ 1,92 miliar kepada otoritas pajak Amerika atas kasus pencucian uang hasil bisnis obat-obatan terlarang dari Meksiko.
(dim/gen)