Penjualan Ritel Terhantam Aksi Tutup Kartu Kredit

CNN Indonesia
Rabu, 18 Mei 2016 11:19 WIB
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengatakan nilai transaksi penjualan ritel ikut menurun pasca banyaknya nasabah yang menutup kartu kredit.
Maraknya penutupan kartu kredit berpengaruh bagi perusahaan ritel elektronik yang menjual barang-barang elektronik karena mayoritas pembelian dilakukan dengan menggunakan fasilitas cicilan dari bank. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak).
Jakarta, CNN Indonesia -- Kewajiban bagi 23 bank untuk melaporkan data transaksi kartu kreditnya kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membuat sebagian nasabah memutuskan menutup kartu kredit yang dimilikinya. Maraknya permintaan penutupan kartu kredit tersebut pada akhirnya membuat penjualan ritel barang-barang mewah menjadi terganggu.

Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengatakan nilai transaksi penjualan ritel ikut menurun pasca banyaknya nasabah yang menutup kartu kredit. Wakil Ketua Umum Aprindo Tutum Rahanta mengatakan banyak anggotanya yang melaporkan penurunan nilai transaksi menggunakan kartu kredit pada bulan lalu, ketika Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39/PMK.03/2016 pertamakali diterapkan.

"Memang ada laporan yang masuk ke kami terkait penurunan transaksi kartu kredit, tapi sifatnya bervariasi ya, tergantung jenis bidang usaha ritelnya seperti apa," terang Tutum kepada CNNIndonesia.com, Rabu (18/5).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menambahkan, bidang usaha ritel seperti minimarket, supermarket, hingga hypermarket tidak terpengaruh secara signifikan mengingat barang yang dijual adalah kebutuhan sehari-hari. Mengingat kebutuhan barang-barang tersebut sangat tinggi, maka kebanyakan transaksi juga dilakukan secara kontan dan jarang ada yang menggunakan kartu kredit.

Namun, penutupan kartu kredit jelas berpengaruh bagi pengusahaan ritel yang menjual barang-barang elektronik karena mayoritas pembelian dilakukan dengan menggunakan fasilitas cicilan dari bank. Bahkan menurutnya, hal ini juga berdampak pada pengusahaan ritel lain yang menjual barang mewah, seperti department store yang menjual baju-baju berlabel premium.

"Orang kaya yang membeli baju dengan harga jutaan rupiah, pasti juga ikut menahan pembeliannya. Karena itu kan tidak mungkin dibeli secara cash, tentu saja ada dampaknya," jelas Tutum.

Sebagai informasi, keinginan DJP Kementerian Keuangan untuk mengintip data transaksi kartu kredit wajib pajak di Indonesia difasilitasi oleh PMK Nomor 39 Tahun 2016 tentang Rincian Jenis Data dan Informasi Serta Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan.

Ketika atasannya menerbitkan aturan tersebut, Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Pajak Edi Slamet Irianto memastikan data transaksi kartu kredit bukanlah data yang masuk ke dalam substansi kerahasiaan menurut Undang-Undang Perbankan.

“Tanpa diminta pun bank harusnya mengirim data itu karena itu sudah kewajibannya. Sekarang secara ketentuan, baru kita minta itu sebagai kewajiban yang harus dilakukan,” ujar Edi, awal April lalu.

Untuk itu, Edi menilai rencana DJP menagih data pemegang kartu kredit dan catatan transaksi penggunaan kartu oleh nasabah 23 bank di Indonesia bukanlah hal yang menakutkan.

"Jadi tidak perlu dikhawatirkan dan tidak perlu dijadikan perbincangan ini kan data biasa saja," ujarnya.

Namun berbekal data yang biasa tersebut, Edi menyebut fiskus DJP akan menggunakannya sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam melakukan pemeriksaan (WP).
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER