Jakarta, CNN Indonesia -- Kewajiban bagi 23 bank penerbit kartu kredit untuk melaporkan transaksi nasabahnya kepada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39/PMK.03/2016, berpotensi menabrak Rancangan Undang-undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi yang tengah disusun Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).
Sinta Dewi, Pakar Hukum Universitas Padjadjaran, mengatakan aturan pelaporan tersebut sangat bertentangan dengan butir RUU yang sedang dibuat. Terlebih data keuangan merupakan data sensitif yang dapat dilihat bila ada perjanjian tertulis serta pengecualian dalam rangka penegakan hukum, perlindungan negara, dan tidak sedikit pun tercantum disebabkan oleh pajak.
"RUU tersebut rencananya akan diusulkan sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun depan. Kebijakan laporan kartu kredit ini sedikit berkonflik dengan perlindungan data pribadi yang kami usulkan," kata Sinta di Jakarta, Rabu (25/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sinta mengungkapkan, perlu ada harmonisasi antara kedua beleid itu. Pasalnya, RUU Perlindungan Data Pribadi memang mengacu pada aturan perlindungan data pribadi di negara-negara Eropa yang lebih ketat dalam perlindungan data pribadi warga negaranya.
Seperti diketahui, PMK Nomor 39/PMK.03/2016 tentang rincian jenis data dan informasi serta tata cara penyampaian data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan mewajibkan bank penerbit kertu kredit untuk melaporkan data detail transaksi kartu kredit nasabahnya.
Adapun aturan tersebut mewajibkan bank atau lembaga penyelenggara kartu kredit melaporkan data dari nasabah yang bersumber dari billing statement atau tagihan. Di antaranya meliputi nama bank, nomor rekening kartu kredit, ID merchant, nama merchant, nama pemilik kartu, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), bulan tagihan, tanggal transaksi, rincian dan nilai transaksi dan pagu kredit.
DJP menanti pelaporan perdana atas ketentuan tersebut paling lambat 31 Mei 2016 baik secara elektronik (online) maupun langsung. Selanjutnya, data transaksi kartu kredit nasabah wajib diserahkan setiap akhir bulan.
Genjot Transaksi TunaiSementara itu, General Manager Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) Steve Martha mengungkapkan kebijakan pelaporan transaksi kartu kredit dapat memiliki dampak negatif bagi perekonomian nasional. Hal tersebut dapat terlihat dari kemungkinan semakin besarnya perpindahan transaksi non tunai ke tunai.
Apalagi, masih ada kekhawatiran dari masyarakat terkait keamanan data dari kebijakan pelaporan data kartu kredit oleh perbankan kepada DJP.
"Ada pontesi masyarakat akan pindah menggunakan transaksi tunai karena sudah tidak percaya pada perbankan karena data mereka tidak aman. Akibat hal tersebut tentu yang dirugikan nanti adalah Pemerintah sendiri karena akan keluarkan banyak uang untuk mencetak uang di pasar," tegasnya.
Steve mengungkapkan, transaksi kartu kredit di Indonesia dalam satu tahun mencapai Rp21 triliun dengan jumlah 20 juta nasabah pemilik kartu kredit. Karena itu, dia berharap DJP dapat memberikan sosialisasi dan meyakinkan para nasabah kartu kredit terkait keamanan data serta mekanismenya.
Namun Direktur Potensi Kepatuhan Perpajakan DJP Yon Arsal menjamin pembukaan data rekening kartu kredit yang akan dilakukan Pemerintah dipastikan tidak membuat wajib pajak harus membayar pajak dua kali atas transaksi yang dilakukannya.
Pembukaan data ini hanya untuk mengecek silang dan menguji kembali data SPT wajib pajak yang sudah disampaikan kepada DJP, sehingga bisa dipastikan setiap data yang dilihat akan tersimpan aman.
"Jadi ini bukan suatu yang luar biasa, semua negara bisa mengakses berbagai data, kita memang belum dan harus lewat prosedur bertahap, jadi ini hanya untuk menguji data dan pembanding," ujar dia.