Jakarta, CNN Indonesia -- Mungkin Anda sempat bertanya, seberapa besar perusahaan rokok di Indonesia? Faktanya, perusahaan dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI) adalah produsen rokok, PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk.
Nilai kapitalisasi pasar adalah sebuah istilah angka yang merujuk ke harga keseluruhan dari sebuah saham perusahaan. Singkatnya, nilai kapitalisasi pasar adalah sebuah harga yang harus dibayar seseorang untuk membeli suatu perusahaan.
Hingga Jumat (27/5), Sampoerna bertengger tenang di puncak posisi dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp444 triliun. Di bawahnya, terdapat PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk dengan nilai Rp379 triliun, PT Unilever Tbk senilai Rp336 triliun, PT Bank Central Asia Tbk dengan angka Rp317 triliun, dan PT Astra International Tbk sebesar Rp271 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara nilai kapitalisasi pasar seluruh perusahaan di BEI tercatat Rp5.226 trilliun. Dengan nilai Rp444 triliun, Sampoerna mempunyai bobot sebesar 8,7 persen dari 528 perusahaan yang melantai di bursa. Dengan kata lain, produsen rokok A Mild ini memiliki kekuatan terbesar di pasar modal Indonesia.
Jika bicara tentang Sampoerna, kurang afdal jika tidak membahas Philip Morris. Perusahaan rokok dari Negeri Paman Sam itu turut membuat otot Sampoerna makin perkasa di Indonesia.
Pada 2005, produsen Marlboro itu menggemparkan lantai bursa dunia ketika mencaplok 40 persen saham Sampoerna dengan nilai Rp10.600 per lembar saham. Jika ditotal dengan kesepakatan lain, termasuk pembayaran utang, maka nilai transaksi tersebut mencapai Rp48 triliun.
Tak hanya itu, manuver bisnis Sampoerna hingga saat ini terbilang selalu menggemparkan. Terakhir, produsen kretek Dji Sam Soe ini mengguyur lantai bursa dengan uang senilai Rp21 triliun melalui penawaran saham baru dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) atau
rights issue pada tahun 2015.
Sampoerna menggelar aksi tersebut guna memenuhi aturan BEI terbaru mengenai batas minimum saham yang dimiliki oleh publik. Surat Keputusan Direksi PT BEI Nomor Kep-00001/BEI/01-2014 mewajibkan semua perusahaan publik yang terdaftar untuk melepas minimal 7,5 persen dari total modal disetor ke publik.
Namun, mengingat kapitalisasi pasar Sampoerna yang relatif besar dan untuk menjaga tidak terjadinya fluktuasi indeks yang signifikan, BEI memasukkan saham
rights issue HMSP dengan skema khusus.
Pertama, pada 4 November 2015, persentase jumlah saham Sampoerna yang diperhitungkan dalam indeks sebesar 25 persen. Kemudian pada 18 November 2015 sebesar 50 persen, lalu 2 Desember 2015 sebanyak 75 persen, dan 16 Desember 2015 sebesar 100 persen.
Pasca-
rights issue, karena bobot saham Sampoerna dinilai terlalu berat dan kurang terjangkau oleh investor ritel, pemegang saham mayoritas memutuskan untuk melakukan pemecahan nominal saham
(stock split) dengan rasio 1:25.
Perseroan akan memecah nilai nominal saham dari Rp100 per saham menjadi Rp4 per saham. Per penutupan perdagangan Jumat lalu, harga saham Sampoerna masih bertengger di Rp95.400 per lembar.
[Gambas:Video CNN]
Laba JumboDari sisi kinerja keuangan, Sampoerna tercatat memiliki rekam jejak positif. Pada 2015, Sampoerna menguasai pangsa pasar sebesar 35 persen dengan volume penjualan tahunan sebanyak 109,8 miliar batang, dan meraup laba bersih sebesar Rp10,4 triliun.
Untuk diketahui, dalam tiga tahun terakhir, perusahaan asal Surabaya ini selalu menembus angka Rp10 triliun untuk raupan laba bersih.
Lebih lanjut, pada tiga bulan pertama tahun ini, Sampoerna mencatat laba bersih Rp3,11 triliun, meningkat 7,61 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp2,89 triliun. Hal itu ditopang pendapatan bersih Sampoerna yang naik tipis 1,67 persen dari Rp21,56 triliun menjadi Rp21,92 triliun.
Elvira Lianita, Head of Regulatory Affairs, International Trade and Communications Sampoerna mengatakan Tahun 2015 adalah tahun yang penuh tantangan bagi perekonomian Indonesia dan global.
“Industri rokok sendiri terkena dampak perlambatan ekonomi. Pada tahun 2015, pasar rokok Indonesia tidak mengalami pertumbuhan yang berarti,” ujarnya kepada
CNNIndonesia.com.
Terlebih pada kuartal pertama tahun ini, volume penjualan industri rokok turun sebesar 5,9 persen, mencerminkan perlambatan ekonomi serta dampak kenaikan harga rokok yang dipicu kenaikan cukai.
“Kami memproyeksikan penurunan volume penjualan industri rokok akan berkisar 1-2 persen pada tahun 2016. Meskipun terdapat penurunan volume penjualan industri, Sampoerna tetap yakin pada model dan strategi bisnis kami,” kata Elvira.
Pelinting Tembakau Lain di Lantai BursaSelain Sampoerna, tercatat tiga perusahaan rokok lain yang mencatatkan sahamnya di lantai bursa. Diurutkan berdasarkan besaran nilai kapitalisasi pasarnya, terdapat PT Gudang Garam Tbk, PT Bentoel Internasional Investama Tbk, dan PT Wismilak Inti Makmur Tbk.
Gudang Garam menduduki peringkat kedelapan dalam besaran nilai kapitalisasi di BEI dengan angka Rp137 triliun. Perseroan tertinggal tujuh peringkat dari Sampoerna. Sementara Bentoel dan Wismilak jauh di bawah keduanya, dengan nilai kapitalisasi masing-masing Rp3,47 triliun dan Rp827 miliar.
Namun patut diketahui, sebenarnya posisi keempat emiten produsen rokok tersebut tidak mencerminkan peta persaingan sesungguhnya, sebab salah satu produsen rokok terbesar di Indonesia, PT Djarum, hingga saat ini tidak mencatatkan sahamnya di BEI.
Kendati demikian, bara persaingan modal dalam industri rokok tahun ini bakal semakin panas. Setelah Philip Morris kembali menyuntikkan dana melalui
rights issue Sampoerna, British American Tobacco tak mau kalah dengan rencana menambah ‘darah’ di tubuh Bentoel.
British American Tobacco akan menjadi pembeli siaga dalam rencana penerbitan saham baru dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) atau
rights issue Bentoel yang ditargetkan meraup dana hingga Rp13,99 triliun.
Saat ini, British American Tobacco telah menguasai 85,55 persen saham Bentoel.
Lalu bagaimana kinerja para pesaing Sampoerna ini? Berdasarkan laporan keuangan pada triwulan I 2016, Gudang Garam membukukan laba bersih pada sebesar Rp1,69, naik 32,03 persen dari periode yang sama 2015 sebesar Rp1,28 triliun.
Pencapaian laba bersih tersebut terutama didukung oleh penjualan pokok perseroan yang meningkat 12,58 persen menjadi Rp17,99 triliun, dari Rp12,58 triliun pada periode yang sama tahun 2015.
Sayangnya, kinerja Bentoel tercatat buruk di awal tahun ini. Perusahaan membukukan rugi bersih Rp330,8 miliar di kuartal I 2016, sedikit berkurang dari rugi bersih Rp370 miliar pada periode yang sama 2015.
Buruknya kinerja Bentoel disebabkan naiknya beban pokok penjualan menjadi Rp4,24 triliun dari Rp3,16 triliun. Padahal, pendapatan perusahaan tercatat naik menjadi Rp4,46 triliun dari Rp3,53 triliun.
Adapun Wismilak mencatatkan pertumbuhan laba bersih sebesar 5,14 persen menjadi Rp35,16 miliar pada triwulan I 2016, dari Rp33,44 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Kinerja Wismilak tersebut didukung oleh peningkatan penjualan sebesar 5,08 persen menjadi Rp440,91 miliar, dibandingkan Rp419,58 triliun pada kuartal I tahun 2015.
(gir)