Jakarta, CNN Indonesia -- Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) menolak rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang sedang disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.
Ketua Harian Gaprindo Muhaimin Moeftie mengatakan, penolakan ini dilontarkan lantaran dalam klausulnya Raperda Kawasan Tanpa Rokok dinilai terlalu berlebihan dalam mengatur konsumen rokok.
Selain itu, kata dia Rapeda ini juga dianggap bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, yang memiliki kedudukan hukum yang lebih tinggi dibandingkan peraturan daerah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Secara hukum, peraturan di tingkat nasional menjadi acuan bagi peraturan daerah dan peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang hierarkinya lebih tinggi. Untuk itu, kami meminta DPRD dan Pemda DKI Jakarta untuk mengacu pada PP 109 Tahun 2012 dalam menyusun Raperda tentang Kawasan tanpa Rokok," tutur Muhaimin dalam keterangan tertulis yang diterima cnnindonesia.com, dikutip Jumat (18/3).
Muhaimin menyontohkan, dalam klausul yang termaktub di Pasal 23 ayat 1 dan 2 dikatakan bahwa pedagang dilarang memperlihatkan jenis, merek, warna, logo, dan wujud rokok.
Hal ini, ungkapnya sangat bertentang dengan PP 109/2012 yang sama sekali tidak melarang pedagang untuk menampilkan kemasan rokok.
“Pasal ini menghilangkan hak produsen untuk mengkomunikasikan produknya kepada konsumennya,” ujarnya.
Pun larangan mengenai upaya promosi tadi juga bertentangan dengan Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa konsumen memiliki hak atas informasi mengenai produk barang dan/atau jasa.
Selain itu, lanjut Muhaimin, Raperda yang tengah dibahas ini sama sekali tidak mengatur kewajiban penyediaan tempat khusus merokok, terutama di tempat kerja dan tempat umum, sebagaimana yang diamanatkan oleh PP 109/2012.
Di pihak lain, Raperda tersebut tidak hanya melarang total kegiatan merokok, tetapi juga kegiatan lainnya seperti iklan, promosi, penjualan dan pembelian produk tembakau di seluruh kawasan tanpa rokok.
Muhaimin menegaskan, semangat dari Raperda ini bukan pembatasan melainkan pelarangan total.
“Usulan ketentuan dalam Raperda KTR DKI ini tidak saja merugikan para pabrikan produk tembakau, tetapi juga akan merugikan semua mata rantai industri, mulai dari pedagang di toko tradisional dan modern, pekerja pabrikan rokok sekaligus petani tembakau dan cengkeh,” tuturnya.
Berangkat dari hal tersebut, Muhaimin berharap DPRD dan Pemprov DKI akan segera melibatkan dan mendengarkan masukan dari para pemangku kepentingan terkait dengan industri tembakau nasional yang akan terdampak secara langsung akibat kebijakan ini.
“Industri hasil tembakau, yang menyerap enam juta tenaga kerja dan tahun lalu berkontribusi sebesar Rp139,5 triliun terhadap penerimaan cukai negara, telah berada dalam tekanan yang besar dengan kebijakan cukai dan pajak. Kami berharap pemerintah daerah tidak menambahkannya dengan kebijakan kawasan tanpa rokok yang eksesif," ujarnya.
(dim)