Jakarta, CNN Indonesia -- Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menegaskan rencana kenaikkan tarif cukai hasil tembakau masih menunggu masukkan dari Kementerian Kesehatan dan melihat perkembangan ekonomi nasional. Karenanya, persentase kenaikkan tarifnya belum bisa dipastikan sampai saat ini.
"Bagaimana situasi pabrikan, konsumsi, perekonomian. Ini akan jadi satu pertimbangan, tapi di sisi lain pemerintah dalam hal ini Kementrian Keuangan (Kemenkeu), Badan Kebijakan Fiskal (BKF), dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) masih harus mendengarkan Kementrian Kesehatan," ujar Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Heru Pambudi, Kamis (9/6).
Menurutnya, cukai merupakan instrumen fiskal yang digunakan untuk mengendalikan konsumsi suatu produk yang punya efek negatif. Karenanya, pemerintah selaku otoritas fiskal harus melindungi masyarakat dari pengaruh negatif rokok tanpa mengabaikan kelangsungan industri rokok dan kesejahteraan petani tembakau dan cengkeh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami harus cari solusi dan inilah yang coba kami rundingkan. Nantinya setiap kebijakan tarif, pasti akan disosialisasikan dengan pemangku kepentingan seperti asosiasi, Kemenkes, dan lainnya," jelasnya.
Sebagai informasi, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah mengkaji kenaikan tarif cukai rokok pada 2017 menyusul rencana kenaikkan target penerimaan cukai.
Tahun ini, pemerintah menargetkan setoran cukai sebesar Rp146,4 triliun di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016. Untuk mencapainya, pemerintah menaikkan tarif cukai rokok rata-rata 11,19 persen per 1 Januari 2016.
Target penerimaan cukai rencananya dinaikkan lagi menjadi sebesar Rp148,1 triliun, menyesuaikan dengan perubahan postur APBN 2016.
Sementara untuk bea masuk, target setorannya akan dipangkas menjadi Rp 33,4 triliun di Rancangan APBN Perubahan (RAPBNP) 2016 dari target saat ini Rp37,2 menyesuaikan dengan tren penurunan devisa impor.
"Faktornya pertama, terjadi penurunan volume impor sebesar 20,4 persen. Kemudian terjadi kenaikan Free Trade Agreement (FTA) dari 23 persen menjadi 26,7 persen," jelas Heru.
Penyebab lainnya, kata Heru, karena perkembangan perdagangan internasional yang melemah dan depresiasi kurs dari target Rp13,900 per dolar AS menjadi Rp13,500 di RAPBNP 2016.
"Seperti yang kita tahu ini kan mempengaruhi besaran yang masuk. Itu saya kira yang utama makanya kami diminta untuk menurunkan," imbuhnya.
Secara kumulatif, target penerimaan yang dibebankan ke DJBC turun dalam RAPBN 2016 menjadi Rp 183,9 triliun dari Rp 186,5 triliun.
"Turun Rp 2,6 triliun. Nah itu terutama karena penurunan dari bea masuk," ungkapnya.
(ags)