Jakarta, CNN Indonesia -- PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya di sektor panas bumi, PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) berjanji merealisasikan tiga proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTP) berkapasitas total 165 Megawatt (MW) tahun ini sesuai dengan target.
Tiga PLTP tersebut adalah PLTP unit 3 di Ulubelu Lampung berkapasitas 55 MW, PLTP Lahendong unit 5 di Sulawesi Utara berkapasitas 55 MW, dan unit 1 PLTP Karaha di Jawa Barat berkapasitas 55 MW.
Tafif Azimudin, Sekretaris Perusahaan PGE menjelaskan, proyek Ulubelu unit 3 dijadwalkan mulai beroperasi pada Agustus 2016 sesuai dengan target rencana tanggal operasi komersial (
commercial operation date/COD).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara proyek Lahendong unit 5 dijadwalkan mulai beroperasi Desember 2016. Terakhir PGE juga direncanakan mulai mengoperasikan proyek Karaha Unit 1 pada Desember 2016 sesuai dengan target dalam COD.
“Total tambahan kapasitas terpasang dari proyek-proyek panas bumi PGE dalam pengembangan di atas 160 MW. Saat ini kapasitas terpasang PLTP yang dikelola PGE sebesar 437 MW,” ujar Tafif, Rabu (15/6).
Selain itu, PGE juga telah menuntaskan pemboran untuk sumur di PLTP yang akan
on streaming. Masing-masing dua pemboran eksplorasi sumur pada proyek Ulubelu unit 3, pemboran eksplorasi 2 sumur di Lahendong unit 5, dan pemboran KURS tiga sumur pada proyek Karaha unit 1.
“Pengoperasian PLTP diproyeksikan meningkatkan produksi listrik panas bumi Pertamina. Sepanjang 2015, produksi panas bumi Pertamina sebesar 3.056,82 GWH, naik dibandingkan 2014 sebesar 2.831,40 GWH dan dan 2013 sebesar 2.961,85 GWH,” jelasnya.
Berdasarkan data Pertamina, hingga kuartal I 2016, produksi panas bumi Pertamina mencapai 761,51 GWH atau naik 6,3 persen pada kuartal I 2016 dibandingkan periode sama tahun lalu.
Peningkatan produksi ini juga terkait dengan biaya operasi yang terus turun. Sepanjang Januari-April 2016, biaya operasi turun menjadi US$3,1 dolar per ton dibandingkan sepanjang 2015 sebesar US$3,7 per ton atau 2014 sebesar US$3,4 ton dan 2013 sebesar US$3,5 per ton.
Abadi Purnomo, Anggota Dewan Energi Nasional sekaligus Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (APBI) menilai, percepatan COD biasanya sebagai dampak dari percepatan penyelesaian
engineering, procurement and contract (EPC). Baik karena performa kontraktor dari sisi manajemen proyek, finansial maupun kapabilitas dan ketersediaan uap di kepala sumur.
“Biaya pembangunan memang PLTP mahal karena kita merambah ke sumber daya di bawah tanah dengan
uncertainty dan risiko yang sangat besar,” katanya.
Suryadarma, Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), menilai kemungkinan beroperasi lebih cepat suatu PLTP sangat bergantung pada ada atau tidaknya kendala saat pekerjaan EPC. Dalam kasus Ulubelu, pengembangan unit baru memiliki keuntungan karena dibangun pada lokasi yg sama sehingga memiliki infrastruktur yang cukup guna mendukung PLTP unit 3.
Menurut dia, untuk membangun energi dari panas bumi, investasi yg diperlukan semuanya dikeluarkan diawal pembangunannya sebelum menghasilkan listrik dan jumlahnya sangat signifikan besar.
Untuk mendapatkan 1 MW panas bumi rata-rata diperlukan dana sekitar US$2 juta, kemudian apabila dihitung sampai menghasilkan listrik diperlukan biaya sampai US$4 juta per MW. Hal ini disebabkan mencari sumber daya panasbumi sampai menghasilkan uap panas bumi menghadapi berbagai macam risiko baik risiko eksplorasi, risiko teknis, risiko lingkungan, dan risiko finansial.
“Pada masa pemeliharaannya membutuhkan biaya yang relatif sedikit. Biaya yg diperlukan untuk pemboran sumur produksi bisa mencapai US$5 juta-US$7 juta per sumur sedangkan sumur injeksi sekitar US$4 juta per sumur,” katanya.
(gen)