Jakarta, CNN Indonesia -- Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKM Migas) pesimistis target produksi minyak sebesar 820 ribu barel per hari bisa tercapai menyusul keinginan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memangkas pengembalian biaya operasi (
cost recovery).
Zikrullah, Wakil Kepala SKK Migas menilai, pemangkasan
cost recovery akan mempersulit revisi program kerja dan anggaran atau
Work Program and Budget (WP&B). Pasalnya, target produksi (
lifting) masing-masing Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sudah disesuaikan dengan
cost recovery yang diajukan.
Untuk itu, ia mengatakan, instansinya sedang mencari cara agar
lifting bisa memenuhi target dengan
cost recovery yang minim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sekarang kami melihat, kesulitannya ada di
cost recovery demi mencapai produksi seperti angka yang dimau. Masalah ini apakah akan dibayar ke KKKS di periode berikutnya, ini yang sedang kami diskusikan dalam menyusun WP&B," ujar Zikrullah ditemui Jumat malam (17/6).
Ia melanjutkan, pada awalnya SKK Migas mengajukan anggaran
cost recovery sebesar US$11,9 miliar demi mendapatkan lifting 820 ribu barel per hari. Namun, jika
cost recovery jadi dipangkas sebesar US$4 miliar sesuai keinginan Badan Anggaran DPR, Zikrullah pesimistis target
lifting tercapai.
Maka dari itu, ia sangat menyayangkan sikap DPR yang tak memberi waktu bagi SKK Migas untuk menghitung penghematan
cost recovery yang optimal. Setelah ini, jelasnya, SKK Migas akan menghitung elastisitas
cost recovery, yaitu seberapa besar
lifting minyak akan berkurang jika
cost recovery dipangkas sebesar US$1 miliar.
"Tapi karena ini merupakan keputusan Banggar ya tentu saja akan kami hormati. Dari sisi hulu nanti kami lihat seperti apa implementasinya," jelasnya.
Selain itu, ia juga takut pengurangan
cost recovery membuat KKKS tidak mendapatkan insentif untuk melakukan eksplorasi. Pasalnya, KKKS pasti enggan melakukan belanja modal yang sama sekali tidak menghasilkan produksi di saat pemerintah belum tentu akan mengganti belanja modal tersebut.
"Jadi ya nanti
cost recovery-nya akan dikeluarkan demi
workover dan
well service, intinya aktivitas migas yang memang terlihat di depan mata," jelas Zikrullah.
Sementara itu, Vice President Public and Government Affairs, ExxonMobil Indonesia, Erwin Maryoto menuturkan, masalah
cost recovery dan produksi akan diserahkan kembali sesuai revisi WP&B yang kini sedang disusun.
"Nanti kan ada semuanya ada di dalam WP&B. Kami sebagai KKKS, akan mengacu di situ saja," jelas Erwin tanpa memberitahu bocoran revisi WP&B yang diajukan oleh perusahaannya.
Sebagai informasi, dalam pembahasan RAPBNP 2016, Banggar DPR dan Pemerintah sepakat
cost recovery disunat menjadi US$8 miliar dari pagu sebelumnya US$11 miliar di APBN 2016. Pemangkasan
cost recovery dilakukan demi menjaga defisit fiskal terjaga di bawah 3 persen dari PDB. Hal itu juga dilakukan untuk mengantisipasi jika penerimaan pajak sebesar Rp165 triliun dari kebijakan pengampunan pajak tidak tercapai.
"Supaya defisit anggaran tidak melebihi 3 persen maka kami bersepakat menetapkan
cost recovery US$8 miliar,” ujar Ketua Banggar DPR, Kahar Muzakar, pekan lalu.
Pada tahun lalu, realisasi
lifting minyak tercatat 777,56 ribu barel per hari dari target 825 ribu barel per hari dengan realisasi
cost recovery mencapai US$13,9 miliar. Rincian
cost recovery tersebut 50 persen dialokasikan untuk biaya produksi, 22 persen untuk biaya eksplorasi dan pengembangan lapangan produksi, dan 13,7 persen untuk biaya depresiasi.
(ags)