Jakarta, CNN Indonesia -- PT Bank Permata Tbk mencatatkan rasio modal tertinggi di sepanjang sejarah perseroan usai menggelar
rights issue (Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu) di penghujung paruh pertama tahun ini yang berakhir 30 Juni 2016. Rasio modal inti utama (
Common Equity Tier 1/CET-1) tercatat sebesar 14,7 persen dan rasio kecukupan modal (
Capital Adequacy Ratio/CAR) sebesar 18,6 persen.
Permata Bank merampungkan proses
rights issue sebesar Rp5,5 triliun pada Juni 2016 dan terjadi kelebihan permintaan (
oversubscribed). Dua pemegang saham utama perseroan, yakni PT Astra International Tbk, dan Standard Chartered Bank Indonesia mengambil seluruh porsi saham.
"Kesuksesan
rights issue tersebut memperlihatkan dukungan dari dua pemegang saham utama kami, Astra dan Standard Chartered, terhadap strategi perseroan untuk memperkuat cadangan modalnya, sehingga perseroan dapat memiliki fondasi pertumbuhan yang kuat," terang Roy Arfandy, Direktur Utama Permata Bank, Jumat (29/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rights issue yang dilakukan perseroan, Roy menuturkan, merupakan bagian dari strategi komprehensif yang dilakukan perseroan sejak tahun lalu. Tujuannya, untuk memperkuat fondasi pertumbuhan di tengah tekanan ekonomi makro yang masih berlanjut. Di samping untuk memperkuat modal, kebijakan ini juga dinilai mampu meningkatkan kualitas aset, menumbuhan aset secara selektif dan mengendalikan biaya-biaya.
"Dengan menjalankan kebijakan ini secara cermat dan hati-hati, Permata Bank berhasi mempertahankan margin, melakukan kontrol yang baik atas biaya-biaya operasional dan menjaga likuiditas tetap sehat. Hal ini memungkinkan kami untuk secara berangsur kembali menunjukkan performa yang kuat di masa mendatang," katanya.
Berdasarkan laporan keuangan perseroan, aset likuid perseroan meningkat sebesar 32 persen (
year on year). Adapun,
loan to deposit ratio-nya mencapai 86 persen. Namun, tekanan ekonomi makro yang berlanjut masih memengaruhi kualitas aset dalam jangka pendek perseroan.
Buktinya, rasio kredit bermasalah (
nonperforming loan/NPL) perseroan yang nasik menjadi 4,6 persen (
gross) dan 2,7 persen (
net). Kenaikan NPL terutama didorong oleh penurunan kualitas kredit di rekening pinjaman komersial di hampir seluruh sektor industri.
Menindaklanjuti ancaman NPL ini, Sandeep Jain, Direktur Keuangan Permata Bank mengungkapkan, perseroan mengerek pencadangan kreditnya (
imparment charge) yang jauh lebih tinggi. Beban pencadangannya naik 248 persen pada semester I 2016 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
"Laba setelah pajak dibukukan sebagai kerugian senilai Rp836 miliar. Hal ini telah diantisipasi sebelumnya dan merupakan bagian dari langkah-langkah perseroan untuk meningkatkan kualitas aset. Saat ini, kami berada dalam posisi yang lebih kuat untuk mengelola risiko yang ada maupun yang mungkin terjadi," tutur Jain.
(bir)