Jember, CNN Indonesia -- Tanah yang subur membuat sebagian besar rakyat Indonesia menggantungkan harapannya di sektor pertanian. Begitu pula dengan masyarakat di Desa Pakusari, Kecamatan Pakusari, Kabupaten Jember, Jawa Timur yang sebagian besar masyarakatnya memilih pekerjaan bercocok tanam.
Misjo, Kepala Desa Pakusari mengungkapkan desa yang dipimpinnya bahkan terkenal sebagai salah satu sentra produksi hasil pertanian di Jawa Timur. Tercatat, sebanyak 3.800 kepala keluarga (KK) menggarap lahan pertanian, baik untuk menghasilkan beras, jagung hingga tembakau.
Meski menghasilkan beras dan jagung, namun masyarakat Desa Pakusari rupanya lebih memilih tembakau sebagai primadona hasil tani. Pasalnya, menurut Misjo, keuntungan yang didapat petani dari satu kali menanam tembakau setara dengan empat kali lipat hasil panen padi atau jagung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau tanam tembakau bisa untung empat kali lipat. Makanya dari 350 hektare (ha) lahan pertanian di desa ini, sekitar 250 ha ditanami tembakau, terlebih saat musim kering datang," ungkap Misjo saat kunjungan ke kantor Kepala Desa Pakusari, Sabtu sore (30/7).
Dari sini, tak heran bila Indonesia masuk dalam jajaran lima negara penghasil tembakau terbesar di dunia. Mirisnya, sebagai penghasil tembakau, Indonesia belum bisa melakukan ekspor karena kebutuhan industri rokok dalam negeri saja belum bisa dipenuhi, bahkan selalu kurang.
Salah satu hal yang menjadi alasan petani kesulitan mendongrak hasil tani ialah minimnya dana bantuan dari pemerintah pusat maupun daerah. Padahal, petani sangat membutuhkan bantuan untuk membangun fasilitas dan infrastruktur yang memadai, misalnya sistem irigasi.
"Bantuan ada tapi sangat minim bahkan untuk membangun irigasi saja tidak cukup. Padahal kalau kita punya fasilitas pertanian yang baik tentu bisa mengantisipasi pengaruh cuaca yang cenderung mempengaruhi hasil tani," ujar Misjo.
Senada dengan Misjo, Suryono (43), salah satu petani di Desa Pakusari mencontohkan kejadian tahun lalu, yakni saat Gunung Raung mengeluarkan abu vulkanik yang menutupi seluruh tanaman tembakau di desa itu.
"Itu kalau kita jual ke pengepul bisa tidak laku. Karena abu vulkaniknya masuk ke pori-pori daun dan membuat kualitas tembakau kita turun. Saat dibersihkan pun tetap tidak menolong," tutur Suryono pada kesempatan yang sama.
Oleh karena itu, Suryono menilai pentingnya tambahan fasilitas dari pemerintah untuk mengantisipasi penurunan mutu tembakau akibat faktor cuaca dan bencana alam.
Tak hanya itu, Suryono mengharapkan, pemerintah dapat memberikan pelatihan teknik pertanian yang lebih efisien dan modern. Pasalnya, beberapa teknik pertanian konvensional terhitung boros pengeluaran.
"Kalau kita bayar buruh cangkul itu lebih besar daripada pakai alat. Kalau pakai buruh kita habis Rp35 ribu per orang. Sedangkan satu lahan tembakau butuh sampai 10 orang untuk dikejarkan selama tujuh hari," jelas Suryono.
Namun, pilihan petani untuk menggunakan alat kerap terbentur harga alat yang mahal, terlebih tidak ada subsidi dari pemerintah untuk pemenuhan alat pertanian.
"Misalnya beli alat pengolah tanah atau kultivator, itu harganya Rp15 juta, kalau petani beli itu, modal kami sangat besar, tidak ada pinjaman dari koperasi atau pemda," ungkap Suryono.
Dari sini, Misjo dan Suryono mengharapkan adanya bantuan dan kepedulian yang tinggi dari pemerintah untuk ikut membantu petani dalam menghasilkan tembakau, terlebih nama Indonesia cukup besar di komoditas itu.
Pilih Andalkan Swasta
Kurangnya perhatian dari pemerintah membuat sebagian petani tembakau di Jember memilih untuk menggalang kerja sama dengan pihak swasta. Salah satunya program kemitraan bersama perusahan industri rokok raksasa, PT HM Sampoerna Tbk.
Adapun melalui program kemitraan Sistem Produksi Terintegrasi (Integrated Production System/IPS) antara petani dan Sampoerna, memungkinkan petani mendapatkan bantuan subisidi seperti yang sebelumnya diharapkan datang dari pemerintah.
"Banyak masyarakat saya yang akhirnya memilih untuk menjalin kemitraan karena mereka bisa mendapatkan pinjaman modal, subsidi, hingga pengetahuan dan jaminan tembakau yang mereka tanam pasti dibeli," kata Misjo.
Suryono mencontohkan, program ini membuat dirinya mengetahui penggunaan plastik tunnel yang dapat melindungi tembakau pada cuaca-cuaca tertentu, termasuk saat melindungi tembakau dari curah hujan yang tak menentu sebagai dampak dari La Nina.
"Kalau pakai plastik tunnel, saat ingin mengeringkan tembakau di musim sekarang ini, yang kadang hujan, kadang tidak, sangat efisien karena kita tidak perlu bolak-balik menjemur tembakau," kata Suryono.
Tak hanya itu, program kemitraan juga membuat petani memaksimalkan hasil taninya dengan penggunaan alat pertanian yang lebih efisien. Bahkan tercatat, hasil pertanian di Desa Pakusari meningkat dari rata-rata 1 ton per ha menjadi 1,75 ton per ha sejak mengikuti program kemitraan pada tahun 2013. "Untuk pendapatan, selisih pendapatan petani yang menjual ke pengepul dengan kemitraan berkisar Rp500 ribu per kuintal," ungkap Suryono.
Sebagai informasi, produksi tembakau di Indonesia berdasarkan Data Kementerian Pertanian pada tahun 2015 mencapai 164.448 ton tembakau. Namun, jumlah kebutuhan tembakau industri rokok masih sulit dikejar di angka 363.130 ton tembakau.
(pit)