Jakarta, CNN Indonesia -- Panjangnya rantai perdagangan tembakau kerap membuat petani tidak mendapat keuntungan yang sebanding dengan modal yang dikeluarkan karena tingginya permainan harga di tangan tengkulak. Akibatnya, petani tidak memiliki kecukupan modal saat akan melakukan penanaman kembali guna mengejar hasil produksi tembakau.
“Sejak 2009 kami sudah menerapkan program kemitraan berupa kesepakatan dan jaminan jual-beli tembakau yang bertujuan meningkatkan produktivitas petani dengan pemberian pelatihan sekaligus memenuhi pasokan tembakau yang dibutuhkan industri rokok,” kata Elvira Lianita, Head of Regulatory Affairs, International Trade, and Communications PT HM Sampoerna Tbk di Jember, Sabtu (30/7).
Hasil produksi komoditas tembakau yang berasal dari petani dalam negeri tak bisa menopang tingginya kebutuhan industri rokok. Data Center for Indonesia Taxation Analyst (CITA) mencatat, kebutuhan tembakau industri rokok mengalami kenaikan sebanyak 23,78 persen dalam lima tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam lima tahun terakhir, kebutuhan tembakau untuk industri rokok naik 23,78 persen dari tahun 2011 sebanyak 293.360 ton menjadi 363.130 ton pada 2015. Sayangnya, kenaikan kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi oleh hasil produksi dalam negeri," ungkap Elvira.
Elvira mengungkapkan, dari Data Kementerian Pertanian, hasil produksi tembakau dalam negeri hanya mengalami peningkatan sebanyak 0,77 persen, dari 163.187 ton pada tahun 2014 menjadi 164.448 ton pada tahun 2015. Otomatis industri rokok harus menutup kekurangan pasokan tembakau sekitar 54,71 persen melalui pemanfaatan stok gudang industri rokok hingga membuka keran impor.
Untuk impor tembakau, menurut Sampoerna, dari Data Badan Pusat Statistik (BPS), kuota impor tembakau pada tahun 2013 mencapai 121.218 ribu. Bila berkaca pada rendahnya pasokan tembakau dalam negeri, bukan tidak mungkin, impor pada tahun ini meningkat drastis.
Padahal, Indonesia termasuk lima besar negara penghasil tembakau, setelah China, Amerika, Brazil, dan Turki. Namun, saat ini produktivitas Indonesia justru kalah dari negara tetangga di Asia Tenggara. Menurut Sampoerna, rata-rata negara lain di Asia Tenggara dapat memproduksi 1 ton tembakau per hektar (ha). Mirisnya, Indonesia hanya memiliki angka produksi berkisar 0,7 ton hingga 0,8 ton tembakau per ha.
"Minimnya hasil produksi petani tembakau dalam negeri karena adanya keterbatasan modal, penggunaan teknik pertanian konvensional yang tidak efisien, kurangnya dukungan pemerintah akan fasilitas dan infrastruktur, panjangnya rantai perdagangan tembakau, dan pengaruh kondisi iklim," papar Elvira.
Dari segi kondisi iklim, Elvira memastikan, dampak cuaca La Nina membuat masa tanam padi mengalami kemunduran yang selanjutnya berdampak pada terlambatnya masa tanam tembakau. Pasalnya, sebagian besar lahan tanam tembakau berasal dari lahan persawahan. Akibat kemunduran ini, Sampoerna memperkirakan pada bulan September, petani baru memasuki masa panen raya.
Kendala lain, masih banyak petani tembakau yang menggunakan teknik pertanian konvensional, seperti menggemburkan tanah tanpa bantuan alat pertanian. Padahal teknik ini sudah tak efisien, terlebih untuk mengejar peningkatan produksi, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Terakhir, kurangnya dana bantuan dari pemerintah daerah untuk pembangunan fasilitas dan infrastruktur penunjang, seperti halnya irigasi, belum dapat diberikan untuk menunjang kegiatan pertanian tembakau.
Sampoerna menilai, solusi terhadap sejumlah kendala penghambat produktivitas ini adalah penerapan program kemitraan yang melibatkan industri rokok dan petani tembakau secara langsung. Tak hanya dari pihak swasta, dana bantuan dan bekal pelatihan dari pemerintah sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas tembakau yang selanjutnya berdampak pada kesejahteraan petani.
Adapun, program kemitraan ini, menurut Sampoerna telah berhasil menjaring 4,9 persen atau setara 27 ribu petani dari total 550 ribu petani yang tersebar di seluruh Indonesia dengan peningkatan produktivitas tembakau mencapai 30 persen yang diterapkan disejumlah titik produksi tembakau, seperti di Provinsi Jawa Timur; Kabupaten Jember, Kabupaten Blitar, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Tengah; Kabupaten Rembang dan Kabupaten Wonogiri, dan Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.
(pit)