Jakarta, CNN Indonesia -- Bisnis properti di Indonesia bisa dikatakan tidak cukup baik pada paruh pertama tahun 2016. Pasalnya, para pengembang dinilai masih menahan diri menanti kejelasan beberapa kebijakan, salah satunya pengampunan pajak (
tax amnesty).
Pelemahan kinerja ini terlihat dari kelima emiten yang berada di sektor properti di atas rata-rata mengalami penurunan laba bersih. Meskipun ada beberapa emiten uang mengalami pertumbuhan, angkanya tidak signifikan atau tipis.
PT Bumi Serpong Damai Tbk misalnya, kinerja berkode emiten BSDE ini mengalami penurunan pendapatan sebesar 17,94 persen menjadi Rp2,870 triliun dari periode yang tahun sebelumnya Rp3,385 triliun. Hal ini turut menimbulkan penurunan yang signifikan terhadap laba bersih perusahaan menjadi Rp821 miliar atau 72,21 persen dari sebelumnya Rp1,415 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari sisi penjualan, BSDE membukukan pra penjualan atau
marketing sales mencapai Rp2,5 triliun pada semester I 2016. Nilai pra penjualan tersebut baru 37 persen dari target sepanjang tahun 2016 sebesar Rp6,9 triliun.
"Biasanya semester I 40 persen jadi masih oke, Sabtu kemarin sebenarnya kami sudah 40 persen. Jadi memang semester pertama itu agak lamban karena terpotong Lebaran juga, bisa jadi nanti terakselesari lagi di kuartal III dan IV," kata Direktur Utama Bumi Serpong Damai Hermawan Wijaya, Senin (1/8).
Sama halnya dengan BSDE, PT Summarecon Agung (SMRA) Tbk juga menorehkan kinerja yang kurang baik. Perusahaan mencatat penurunan pendapatan sebesar 12,04 persen menjadi Rp2,317 triliun dari sebelumnya Rp2,596 triliun. Tak heran, laba bersih perusahaan ikut tergerus menjadi hanya Rp24,521 miliar atau turun 95,37 persen dari Rp529,253 triliun.
Kemudian, PT Puradelta Lestari (DMAS) Tbk juga mengalami penurunan laba bersih lebih dari setengahnya pada semester ini, yaitu menjadi Rp486,169 miliar atau turun 58,84 persen dari Rp772,199 miliar. Hal ini sejalan dengan turunnya pendapatan perusahaan sebesar 30,96 persen menjadi Rp976,584 miliar dari Rp1,278 triliun.
Sementara, dari kelima emiten dalam tabel tersebut, PT Pakuwon Jati (PWON) Tbk dan PT Jaya Raya Property (JRPT) Tbk berhasil tumbuh dari segi laba bersih dan pendapatan.
Pakuwon membukukan laba bersih sebesar Rp895 miliar atau tumbuh 18,54 persen dari sebelumnya Rp755 miliar. Namun, dari sisi pendapatan Pakuwon hanya tumbuh 0,61 persen menjadi Rp2,440 triliun dari Rp2,425 triliun.
Sementara, laba bersih Jaya Raya hanya tumbuh 1,59 persen dari Rp438,261 miliar menjadi Rp445,438 miliar. Kemudian untuk pendapatan tumbuh menjadi Rp1,071 triliun atau 4,48 dari sebelumnya Rp1,025 triliun.
Analis Minna Padi Investama Christian Saortua menilai, penurunan kinerja yang dihadapi oleh emiten properti disebabkan karena banyak yang memutuskan untuk menahan diri dalam meluncurkan proyeknya di semester I 2016.
“Sebenarnya beberapa perusahaan properti belum ada proyek baru di semester I, misalnya lihat BSDE juga masih mengandalkan proyek lama,
existing project. Lalu, Summarecon sendiri masih fokus jual produk yang dulu. Ada banyak pengembang menahan diri melepas produk mereka,” kata Christian kepada
CNNIndonesia.com, Selasa (2/8).
Hal ini dilakukan juga karena adanya penantian kebijakan amnesti pajak, di mana pemerintah menargetkan dana repatriasi Rp165 triliun. Dengan kebijakan tersebut, maka juga akan berdampak pada bisnis properti. Namun, Christian sendiri belum bisa memastikan berapa banyak investor yang akan melakukan investasi dalam bisnis properti.
“Dengan amnesti pajak, mereka dapat meluncurkan produk-produk baru yang lebih premium. Dari emiten yang saya jumpai kemarin, misalnya BSDE, mereka akan meluncurkan klaster baru di semester kedua. Kemudian juga beberapa proyek yang baru 30 persen terjual, sisanya diharapkan digenjot di akhir semester kedua,” jelasnya.
Selanjutnya, Christian menjelaskan, tren permintaan dari properti sendiri kini berubah. Kini, permintaan banyak pada segmen menengah ke bawah atau rumah tapak (
landed house). Sementara, masih ada beberapa emiten yang fokus pada pembangunan apartemen, sehingga mempengaruhi penjualan dari emiten tersebut.
“Sekarang ini yang menengah ke atas sedang jenuh karena memang dulunya itu istilahnya kebanyakan pembeli-pembeli investor. Sekarang kebanyakan
end user, jadi menengah ke bawah atau pembeli rumah pertama. Jadi pola permintaan berubah,” paparnya.