Batara Simatupang
Batara Simatupang
Dosen Magister Manajemen (MM) STIE Indonesia Banking School ini meraih gelar doktor dalam bidang keuangan dan perbankan di Maastricht School of Management, Belanda, 2007. Ia juga tercatat berkecimpung lebih dari 18 tahun di PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.

Pengampunan Pajak, APBN, dan Modal Perbankan

Batara Simatupang | CNN Indonesia
Kamis, 11 Agu 2016 16:30 WIB
Kemampuan modal yang terbatas secara otomatis menjadikan bank persepsi terbatas pula dalam menerima limpahan DPK hasil repatriasi.
Presiden Joko Widodo menyampaikan sambutan saat sosialisasi kebijakan Amnesti Pajak di Medan, Sumatra Utara, Kamis (21/7). (ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi).
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Dampak moneter dari kebijakan pengampunan pajak yang diterapkan pemerintah Indonesia masih belum diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Dampak itu adalah seberapa besar dana tunai yang akan mengalir ke sistem perbankan nasional.

Pemerintah menargetkan dana repatriasi dari kebijakan ini mencapai Rp1.000 triliun, namun Bank Indonesia (BI) hanya menargetkan Rp560 triliun. Dana sebesar ini pasti akan meningkatkan DPK (dana pihak ketiga) pada bank persepsi yang ditunjuk, dan sekaligus akan menurunkan CAR (rasio kecukupan modal) masing-masing bank tersebut.

Kemampuan modal yang terbatas secara otomatis menjadikan bank persepsi terbatas pula dalam menerima limpahan DPK hasil repatriasi. Bagaimana bila terjadi lonjakan yang signifikan dari target-target di atas? Untuk itu diperlukan penataan yang lebih konkrit lagi dari sisi moneter dan pengaturan alokasi investasi yang jelas dari sisi fiskal.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terlepas dari hal di atas, menurut Penjelasan UU RI No 11 Tahun 2016, bahwa latar belakang kebijakan pengampunan pajak adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir cenderung mengalami perlambatan yang berdampak pada turunnya penerimaan pajak, dan juga telah mengurangi ketersediaan likuiditas dalam negeri yang sangat diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Adapun, tujuan pengampunan pajak yang langsung berkorelasi terhadap pembangunan ekonomi adalah mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi lewat pengalihan harta, antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi (UU Nomor 11 2016, bab II, pasal 2 ayat 2).

Esensi utama dalam pengampunan pajak adalah likuiditas domestik. Sedangkan, perbaikan nilai tukar, penurunan suku bunga dan peningkatan investasi adalah dampak lanjutan dari peningkatan likuiditas.

Kalau kita kaitkan likuiditas dengan struktur pembiayaan pembangunan ekonomi, ukurannya adalah bagaimana likuiditas dapat menjamin tidak terjadi defisit dalam APBN. Nah, untuk menutup defisit, Kemenkeu sudah mempersiapkan utang melalui penerbitan IGS (Indonesia Goverment Securities), dan melakukan pinjaman.

Saat ini, posisi pinjaman mengkerut ke 22,9 persen (Rp760,06 triliun) dan posisi IGS mencapai 77,1 persen (Rp2.563,59 triliun), sehingga total utang pemerintah mencapai Rp3.323,36 triliun [DJPPR 2016].

Apabila kita tinjau APBN-P 2016 yang telah disetujui DPR RI, dengan alokasi belanja total menjadi Rp2.082,9 triliun dan defisit Rp296,7 triliun atau setara dengan 2,35 persen PDB (produk domestik bruto), pemerintah dapat dengan percaya diri menata defisit melalui penerbitan IGS dan pinjaman.

Sehingga, tidaklah berlebihan jika pemerintah memperkirakan likuiditas perekonomian dapat ditingkatkan dari dana limpahan yang berasal dari repatriasi yang dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur seperti yang dicanangkan lewat program Nawacita Jokowi-JK.

Namun, masih terdapat kesenjangan kebutuhan dana dalam jumlah cukup fantastis, di mana pembangunan infrastruktur sendiri dalam RPJM 2015-2019 untuk full scenario membutuhkan Rp6.552 triliun [DJPPR 2015]. Artinya, masih dibutuhkan tambahan dana pembiayaan infrastruktur sebesar Rp4.469.1 triliun atau rata-rata dalam setahun dibutuhkan Rp893,82 triliun diluar APBN.

Untuk mencari sumber pembiayaan infrastruktur di atas, pemerintah termasuk getol melakukan road show ke luar negeri, demi mengalirnya dana asing ke Indonesia, baik melalui investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI), kerja sama operasi atau kerja sama aset (investasi).

Bagaimana dana asing dimaksud bisa masuk ke dalam negeri? Hal ini bisa kita tinjau dari kemampuan permodalan perbankan nasional. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis, pada Mei 2016 perbankan nasional memiliki CAR 22,41% (Rp984.03 triliun) dengan ATMR (aktiva tertimbang menurut risiko) sebesar Rp4.391,7 triliun.

Bila terdapat limpahan dana dari luar negeri sebesar Rp893,82 triliun (sesuai kebutuhan tahunan) dengan rate risiko 100 persen, akan terjadi penurunan CAR perbankan nasional menjadi 18.62 persen. Atau, bisa dikatakan peningkatan DPK dengan rate risk 100 persen, secara proporsional akan menurunkan CAR dan akan melemahkan sistem perbankan nasional.

Artinya, semakin besar modal suatu bank, semakin besar kemampuannya menghimpun dana dan juga menyalurkan dana tersebut ke masyarakat, sehingga layak menjadi lembaga intermediasi yang ditinjau dari ukuran LDR (loan to deposits ratio) antara 76%-92%.

Dalam konteks ini yang menjadi persoalan utama adalah masih lemahnya permodalan perbankan nasional. Terbatasnya modal bank adalah cerminan dari terbatasnya modal pemerintah untuk memakmurkan Indonesia. Hal ini direfleksikan juga dari keterbatasan cadangan devisa yang secara warisan mengagungkan kemampuan cadangan devisa seolah-olah pantas hanya berdurasi tiga bulanan. Padahal, semakin besar cadangan devisa, maka akan semakin besar potensi mendatangkan dana yang berasal dari on-shore.

Persoalannya, apa yang dapat kita gunakan dalam meningkatkan modal atau menjadikan sesuatu menjadi collateral untuk membackup dana asing masuk ke dalam negeri?

Negeri ini adalah negeri yang penuh berkat. Negeri ini dilimpahi oleh Yang Maha Kuasa kekayaan sumber alam yang sangat 'wow'. Tapi, kenyataannya kita belum mampu mengubah kekayaan sumber daya alam tadi menjadi modal yang masif.

Pendek kata, negeri ini negeri kaya tapi 'kere' dari segi modal. Sudah saatnya semua pemangku kepentingan saling bersinergi, menjadikan sumberdaya alam sebagai collateral, tanpa harus mengeduk isinya.

Kita dapat meningkatkan modal dengan backup collateral tersertifikasi global, sehingga mampu mendatangkan dana asing secara masif.

Siap dan maukah kita menyiapkan regulasinya? Seperti kesiapan kita mempersiapkan UU Pengampunan Pajak, dan menjadikan kita sebagai tuan atas modal di negeri sendiri! (bir/yns)
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER