Jakarta, CNN Indonesia -- Pergerakan nilai tukar rupiah dinilai menjadi salah satu kunci performa perusahaan terbuka (emiten) sektor farmasi. Pasalnya, hampir seluruh bahan baku obat-obatan masih berasal dari negeri seberang.
Analis Bahana Securities Aldy Effendy mengatakan, hasil kinerja emiten dari sektor farmasi ini semester I ini sesuai dengan ekspektasi. Di mana rata-rata emiten mencatatkan kinerja positifnya dengan pertumbuhan rata-rata pendapatan keseluruhan sekitar 15 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu, sedangkan untuk laba bersih keseluruhan naik 10 persen.
“Semester I sesuai ekspektasi, jadi memang tidak ada yang mengejutkan hasilnya. Sesuai konsensus sektor ini masih positif. Tapi margin keseluruhan ke depan kelihatannya masih tertekan, tapi diimbangi dengan volume penjualan yang positif,” jelasnya kepada
CNNIndonesia.com, Jumat (12/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari lima perusahaan terbuka (emiten) farmasi terbesar, semuanya membukukan kenaikan pendapatan, terdongkrak populasi dan kebijakan jaminan sosial. Empat di antaranya mencatatkan laba bersih, sehingga hanya satu perusahaan yang merugi.
Kelima emiten tersebut, antara lain PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), PT Tempo Scan Pacific (TSPC), PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO), PT Kimia Farma (Persero) Tbk (KAEF), dan PT Indofarma (Persero) Tbk (INAF).
Kimia Farma mencatat peningkatan pendapatan tertinggi dibandingkan emiten lainnya menjadi Rp2,48 triliun atau naik 18,09 persen dari posisi sebelumya sebesar Rp2,10 triliun. Sementara Indofarma mengalami pertumbuhan paling tipis, hanya 1,84 persen dari Rp462,77 miliar menjadi Rp471,31 miliar.
Indofarma merupakan satu-satunya perusahaan yang merugi. Rugi bersih perseroan sebesar Rp27,86 miliar pada semester I 2016, naik 17,05 persen dari periode yang sama di tahun sebelumnya Rp23,80 miliar.
“Kami prediksi rupiah bakal lebih menguat 2017, jadi itu harusnya bagus untuk menurunkan harga bahan bakunya. Sehingga dapat menurunkan beban perusahaan. Kalau rupiahnya stabil itu marginnya terkontrol juga,” kata Aldy.
Analis Minna Padi Investama Frederik Rasali menyatakan penjualan obat masih akan tumbuh selama populasi di Indonesia berkembang. Namun penemuan produk baru untuk dijual di pasar merupakan kunci untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang berkelanjutan.
“Apalagi dengan dibantunya kewajiban BPJS dari pemerintah. Memungkinkan bagi penduduk Indonesia yang sebelumnya tidak terbiasa dengan pembelian produk farmasi, lebih mudah untuk dipenetrasi,” jelas Frederik.
(gir/gen)