Suara-suara Tentang Bisnis Keluarga yang Menggurita

Yuliyanna Fauzi, Galih Gumelar, & Elisa Valenta Sari | CNN Indonesia
Kamis, 25 Agu 2016 13:13 WIB
Kendati ketimpangan kekayaan diklaim menyempit pada tahun ini, berbagai lapisan masyarakat menyatakan khawatir dengan kesenjangan yang ada.
Kendati ketimpangan kekayaan diklaim menyempit pada tahun ini, berbagai lapisan masyarakat menyatakan khawatir dengan kesenjangan yang ada. (CNN Indonesia/Djonet Sugiarto)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Dunia mencatat, sebanyak 10 persen orang terkaya Indonesia menguasai 77 persen kekayaan nasional pada tahun 2015. Kendati ketimpangan kekayaan diklaim menyempit pada tahun ini, berbagai lapisan masyarakat menyatakan khawatir dengan kesenjangan yang ada.

Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan koefisien gini atau ketimpangan pendapatan masyarakat miskin dan kaya di Indonesia pada Maret 2016 turun menjadi 0,397. Namun, The Crony-capitalism Index yang disusun oleh The Economist mencatat Indonesia menempati peringkat ketujuh setelah Rusia, Malaysia, Filipina, Singapura, Ukraina, dan Meksiko.

Hal itu menunjukkan bahwa sekitar dua pertiga kekayaan yang dikuasai orang kaya Indonesia diperoleh karena kedekatannya dengan penguasa.

Seorang konsultan hukum, Margareth Mutiara (27), mengaku tidak asing dengan beberapa perusahaan konglomerasi yang dikuasai oleh beberapa keluarga kaya. Dari sisi positif, ia menilai perusahaan tersebut bisa membuka lapangan pekerjaan, sehingga membantu mengurangi jumlah pengangguran.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Dengan munculnya perusahaan yang dibangun ini dan melakukan kegiatan usaha, timbul transaksi di antara masyarakat. Transaksi ekonomi bisa terus terjadi,” katanya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (25/8).

Namun, di sisi lain ia menilai dampak negatif dari gurita bisnis keluarga adalah uang yang dihasilkan oleh perusahaan dalam konglomerasi akan berputar di keluarga itu aja.

“Yang kaya mereka aja, bahkan makin kaya. Kesenjangan sosial makin terasa.”

“Saya khawatir kalau konglomerasi keluarga ini sangat kuat sampai bisa mempengaruhi perekonomian negara. Saya khawatir apapun yang dilakukan oleh keluarga ini bisa mempengaruhi perekonomian kita.”

Angelina Marcelina (26), seorang pegawai perusahaan asuransi mengatakan perusahaan keluarga membantu perekonomian negara, dari mulai penerimaan pajak sampai penyerapan tenaga kerja.

“Tapi di sisi lain jelas mereka bikin resah juga. Mereka grow up like a monster sometimes. Khawatir karena meraka jadi momok di bidang pajak,” katanya.

“Terus cara mereka ekspansi usaha sering dilakukan melanggar undang-undang. Hutan banyak dibakar. Negara rugi. Tapi walaupun begitu akhirnya dicover semua. Karena mereka menjanjikan negara keuntungan lain lewat ekspansi bisnis.”

Sementara itu, Taufan Tampubolon (27) seorang desainer grafis mengatakan, perusahaan keluarga seringkali dikenal dengan praktik nepotisme. Menurutnya, sulit bagi orang yang bukan kerabat keluarga untuk bisa berkarir hingga level tinggi di dalam perusahaan keluarga.

“Contohnya, saya punya teman yang orang tuanya bekerja di salah satu perusahaan keluarga, namun tidak bisa menduduki level manajerial teratas karena perusahaannya punya sifat nepotisme kental,” katanya.

Taufan menyatakan adanya rencana sinergi antara perusahaan keluarga merupakan upaya memperkaya diri sendiri, yang menurutnya lumrah. Ia menilai hal itu adalah upaya untuk mempertahankan usaha di tengah persaingan bisnis.

“Tapi saya khawatir, semakin tinggi pendapatan satu golongan masyarakat, maka akan membuat ketimpangan dengan yang lain,” katanya.

Di sisi lain, Utari Mahar (25), seorang akuntan yang bekerja di salah satu perusahaan keluarga mengatakan, terdapat penelitian yang menyebut bahwa perusahaan keluarga akan lebih sportif memantau laporan keuangan.

“Sehingga, mereka akan menjalankan bisnisnya lebih hati-hati. Sedangkan dampak positifnya ke masyarakat, mereka terkenal peka. Ambil contohnya perusahaan saya, yang tidak mau membangun kantin di dalam kompleks kantor karena tidak mau mematikan pedagang kaki lima yang berjualan di sekitarnya,” jelas Utari.

Namun sisi buruknya, kata Utari, tentu perusahaan keluarga punya konflik kepentingan tersendiri, apapun itu bentuknya.

“Seharusnya ada perbedaan perlakuan antara entitas bisnis dengan kekerabatan. Tapi itu semua tergantung dengan kultur dan goal yang ingin dicapai perusahaan,” ungkapnya.

Lidya Anita (27), seorang staf perusahaan hubungan masyarakat mengaku kenal dengan beberapa perusahaan keluarga yang menjadi kliennya. Ia menilai gurita bisnis keluarga yang menguasai usaha di beberapa sektor dapat membantu pertumbuhan ekonomi dari berbagai bidang.

“Misalnya sektor properti, media, dan lainnya. Jadi, nanti engga ada sektor yang tidak tergerak. Ini tentu bisa menggerakkan ekonomi,” katanya.

“Tapi ini jadi negatifnya juga. Kalau setiap sektor mereka punya, bahkan menguasai, tentu keuntungan tinggi hanya pada keluarga tersebut saja. Nanti daya saing usaha jadi berkurang.”

Staf anggota Dewan Perwakilan Rakyat DPR, Muliadi Santoso (35) mengatakan salah satu sisi positif dari adanya perusahaan keluarga adalah dapat mengenalkan Indonesia ke mancanegara melalui berbagai ekspansi.

“Yang mengkhawatirkan, kalau dari hulu sampai hilir mereka kuasai, selesai sudah. Kekayaan menumpuk di mereka,” tuturnya. (gir)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER