Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) mencatat, terdapat 80 bank umum dan syariah yang bisa menikmati fasilitas pelonggaran rasio pendanaan bank terhadap pembiayaan (Loan to Value/LTV) atau Financing to Value (FTV) untuk penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia, Fillianingsih Hendarta mengatakan bank-bank tersebut telah memenuhi ketentuan kriteria sebagai bank yang layak menerima insentif kebijakan makroprudensial sehingga diperbolehkan menyalurkan pinjaman mencapai 85 persen dari harga properti.
Bank-bank tersebut diketahui memiliki rasio kredit bermasalah (NPL)
gross sektor KPR dan NPL nilai bersih (
nett) di bawah 5 persen. Dengan demikian 80 bank tersebut otomatis bisa menikmati pelonggaran aturan yang secara resmi berlaku efektif per 29 Agustus 2016.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"NPL KPR itu kebanyakan memang masih di bawah 5 persen jadi mereka tidak terlalu tinggi. Apabila ada bank tidak memenuhi syarat maka berlaku rasio LTV/FTV sebelum perubahan," ujar Fillianingsih, Rabu (31/8).
Per Juni 2016, BI mencatat rasio NPL sektor KPR secara industri baru mencapai 2,67 persen lebih rendah jika dibandingkan dengan NPL sektor konstruksi yang sebesar 4,63 persen.
Sementara bagi nasabah sendiri, dengan pelonggaran aturan kebijakan LTV dan FTV berarti nasabah diperkenan menyetor uang muka (
down payment/DP) KPR hanya 15 persen dari harga properti. Besaran setoran tersebut lebih rendah dari aturan semula yang dipatok 20 persen dari total harga properti.
Tak hanya itu, BI juga memperkenankan nasabah menikmati fasilitas KPR secara inden untuk pembelian rumah kedua dan ketiga. Artinya, pencairan fasilitas pinjaman bank bisa dilakukan pada secara bertahap meski pembangunan rumah belum 100 persen tuntas.
Dalam pelonggaran aturan LTV/FTV yang baru, bank sentral juga mengubah aturan fasilitas kredit atau pembiayaan tambahan (
top up). Nantinya kredit top up akan diperlakukan sebagai kredit/pembiayaan dengan fasilitas yang sama sepanjang kredit/pembiayaan memiliki kualitas lancar (kolektabilitas 1).
"Tapi jika kredit atau pembiayaan tidak memenuhi persyaratan atau kurang lancar tersebut maka pembiayaan
top up akan diperlakukan sebagai fasilitas baru menggunakan aturan LTV/FTV yang lama, atau DP 20 persen," katanya.
Fillianingsih mengatakan kebijakan
top up ini merupakan upaya bank sentral untuk mendorong pertumbuhan volume kredit khususnya di sektor properti. Sepanjang tahun 2015, BI mencatat per Juli pertumbuhan penyaluran kredit perbankan secara industri sedikit melambat yakni baru mencapai 7,7 persen secara tahunan.
Dengan pelonggaran kebijakan LTV/FTV ini Filli berharap perlambatan pertumbuhan kredit bisa sedikit teredam. BI sendiri memprediksi pertumbuhan kredit hanya mencapai 7 hingga 9 persen hingga akhir tahun.
Pelonggaran kebijakan makroprudensial tersebut diprediksi bisa mendorong pertumbuhan kredit sampai 3,7 persen dalam masa satu tahun. Namun dengan asumsi dalam satu tahun kedepan tidak terjadi gejolak moneter seperti inflasi hingga normalisasi kebijakan suku bunga The Fed yang mampu mempengaruhi perekonomian dalam negeri.
"LTV/FTV memang belum kuat mendorong KPR tapi cukup kuat menahan penurunan pertumbuhan kredit," jelasnya.
(gir)