Denpasar, CNN Indonesia -- Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri memastikan harga komoditas tidak terpengaruh dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau
British Exit (Brexit).
Hal ini terbukti sejak Inggris resmi keluar pada akhir Juni lalu, harga komoditas tak mengalami penurunan. Pasalnya, banyak pihak yang berspekulasi harga komoditas akan jatuh setelah Inggris keluar dari Uni Eropa.
“Tidak ada pengaruhnya terhadap komoditas. Jadi, bulan Juni waktu masih sebelum referendum itu katanya bakal banyak efeknya terhadap macam-macam komoditas tapi tidak ada satupun yang terbukti,” ucap Faisal di Bali, Senin (19/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Negara yang turut mempengaruhi harga komoditas, lanjut Faisal, bukanlah Inggris melainkan China, India, dan Amerika Serikat (AS). Dalam hal ini, AS termasuk negara kedua pengonsumsi timah terbesar di dunia setelah China.
Berbeda dengan Singapura, meski negara tersebut merupakan pengimpor paling tinggi tetapi Singapura hanya menjadi penjual (
trader), sedangkan AS menggunakan komoditas tersebut untuk kebutuhan industri elektronik.
“Singapura kan nggak dipakai, kalau AS dipakai jadi pengaruh AS lebih penting. Nah saya lihat ekonomi AS sudah mulai membaik walaupun di bawah prediksi, jadi intinya Inggris tidak mempengaruhi,” jelasnya.
Selain itu, kendati Inggris memiliki bursa berjangka komoditas di London atau disebut dengan London Metal Exchange (LME), di mana LME seringkali mendominasi penentuan harga komoditas khususnya timah. Namun nyatanya, hal tersebut tetap tidak mempengaruhi penurunan harga pada barang komoditas.
Terlebih lagi, saat ini harga timah lebih banyak didominasi oleh bursa berjangka di Indonesia yang mengelola komoditas timah, yaitu Indonesia
Commodity and Derivatives Exchange (ICDX).
“Anda lihat LME sama ICDX sama The Kuala Lumpur
Tin Market (KLTM), itu semua berubah. Bahkan ICDX lebih jadi
market leader. Jadi dua
market lain cenderung jadi pengikutnya ICDX sekarang,” katanya.
Secara terpisah, Kepala BAPPEBTI Bachrul Chairi menjelaskan, perubahan harga tersebut disebabkan oleh Indonesia sendiri menjadi salah satu penyedia (
supplier) komoditas timah terbesar. Dengan begitu, jika dibandingkan dengan bursa berjangka di London yang bukan merupakan negara produksi timah secara tidak langsung akan kehabisan stok.
“Mereka memang memiliki stok di sana, tapi kan bukan memproduksi. Jadi lama-lama juga akan habis,” ucapnya.
Menurut Bachrul Chairi, harga timah pada 2013 masih pada level US$15 ribu-US$16.100 per metrik ton. Namun, pada Agustus lalu naik menjadi rata-rata sekitar US$18 ribu per metrik ton. Namun saat ini sudah naik menjadi sekitar US$18 ribu-US$19 ribu per metrik ton.