Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang gugatan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (
tax amnesty). Dalam sidang yang dihadiri oleh Ketua MK Patrialis Akbar ini, empat kubu penggugat Undang-undang Amnesti Pajak mendatangkan dua saksi ahli, pakar hukum perdagangan internasional Muhammad Reza Syarifuddin Zaki dan peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik, Salamuddin Daeng.
Hadir mewakili pemerintah diantaranya Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Hadiyanto, Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi, Staf Ahli Menteri Keuangan (Menkeu) Bidang Penerimaan Negara Astera Prima Bhakti dan Staf Ahli Menkeu Bidang Kepatuhan Pajak Suryo Utomo.
Menurut Reza, dalam pasal 21 ayat (2), (3), dan (4) UU Pengampunan Pajak, upaya pemerintah menjaga kerahasiaan informasi peserta amnesti pajak dinilai tidak kooperatif dalam membangun transparansi untuk kepentingan perpajakan maupun perdagangan internasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di samping itu, seharusnya pasal tersebut juga bertentangan dengan semangat tahun 2018 dari negara-negara OECD untuk merevisi prinsip kerahasiaan bank," kata Reza dalam paparannya di Gedung Mahkaman Konstitusi, Rabu (28/9).
Selain itu, pasal 22 UU Pengampunan Pajak yang mengesankan imunitas hukum pejabat Negara dalam hal pengampunan pajak juga dinilai mencederai semangat kesetaraan kedudukan di mata hukum.
Sementara, Salamudin Daeng menyoroti kebijakan amnesti pajak yang dianggap melegalkan masuknya dana yang berhasil dari tindak kriminal seperti hasil korupsi, perjudian, perdagangan manusia, pencucian uang, dan tindak kejahatan lain.
"Dengan
tax amnesty, negara seolah melegalisasi dana-dana ini untuk masuk ke Indonesia. Pemberian
tax amnesty kepada mereka [pelaku tindak kejahatan] akan membawa konsekuensi masuknya uang ilegal ke dalam institusi legal," ujarnya.
Tak hanya itu, Salamudin meragukan data perolehan dana repatriasi
tax amnesty yang mencapai ratusan triliun rupiah, deklarasi harta yang sudah mencapai Rp 2 ribu triliun, dan uang tebusan sebesar Rp73 triliun.
"Tak heran yang mau jadi saksi ahli banyak yang ciut nyalinya karena program ini dianggap benar-benar sukses. Tapi saya ragu dengan angka ini, tidak mungkin uang masuk sebesar itu dalam waktu cepat," ucap Salamudin.
Menurut Salamudin, amnesti pajak merupakan hukuman bagi orang baik yang justru taat membayar pajak.
Tax amnesty dinilai melanggar prinsip keadilan.
"UU ini bertentangan dengan cita-cita negara kita di Pancasila dan UUD 1945 yang justru melegalisasi sumber keuangan ilegal. Apalagi buat buruh, sangat tidak adil karena mereka patuh bayar pajak gajinya dipotong buat bayar pajak," ujarnya.
Said Iqbal, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) selaku pihak pemohon dalam Perkara Nomor 63/PUU-XIV/2016, menyatakan gugatan atas Undang-undang (UU) Pengampunan Pajak dilakukan karena UU Pengampunan Pajak dinilai bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
"Cabut undang-undang
tax amnesty karena bertentangan dengan UUD 1945 pasal 23A ,pasal 27 ,pasal 28F dan pasal 34," kata Said sesaat sebelum sidang dimulai, Rabu (28/09). .
Menurut Said, sesuai pasal 23A UUD 1945 pemungutan pajak itu bersifat memaksa. Karenanya, buruh atau pekerja setiap bulannya menerima gaji yang langsung dikenakan pakar. Sementara, peserta amnesti pajak yang telah melakukan kelalaian pajak mendapatkan pengampunan.
"Kenapa konglomerat, pemilik modal, korporasi ini kan orang-orang kaya semua, yang puluhan tahun tidak membayar pajak diampuni. Hak konstitusi kita dirugikan kan karena kita bayar pajak taat, telat bayar pajak didenda," ujarnya.
Adapun materi sidang yaitu Perkara Nomor 57/PUU-XIV/2016 atas pemohon Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), Samsul Hidayat, dan Abdul Kodir Jailani dengan Kuasa Pemohon, Sugeng Teguh Santoso.
Berikutnya, Perkara Nomor 58/PUU-XIV/2016 atas pemohon Yayasan Satu Keadilan (YKS) dengan Kuasa Pemohon, Heri Perdana Tarigan.
Selanjutnya, Perkara Nomor 59/PUU-XIV/2016 atas pemohon Leni Indrawati, Hariyanto, dan Wahyu Mulyana dengan kuasa hukum M. Pilipus Tarigan.
Terakhir, Perkara Nomor 63/PUU-XIV/2016 atas pemohon Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPPSBSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Konfedereasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dengan kuasa pemohon Agus Supriyadi.
Persidangan akan kembali dilanjutkan MK bulan depan, Selasa (11/10) dengan agenda melanjutkan mendengarkan kesaksian sejumlah saksi ahli baru yang didatangkan oleh para pemohon.
(gen)