Jakarta, CNN Indonesia -- Pelaksana Tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Pandjaitan memastikan kontrak bagi hasil produksi (
Production Sharing Contract/PSC) Wilayah Kerja East Natuna akan diteken lusa, Rabu (5/1).
Kepastian itu ditegaskan Luhut setelah berdiskusi dengan PTT Thailand, Exxon Mobile, PT Pertamina (Persero), dan SKK Migas di kantornya. Luhut mengatakan, eksekusi PSC East Natuna sejak direncanakan pada 2011 telah berkali-kali ditunda dan diperpanjang.
"Ini mau lagi sampai 2018. Saya bilang tidak. Besok Rabu (5/10) harus tuntas apa langkah berikutnya," kata Luhut di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (3/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengharuskan Pertamina selaku calon Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) East Natuna untuk langsung menjalankan proyek tersebut menyusul finalisasi revisi Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan Dan Perlakuan Pajak Penghasilan Di Bidang Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi.
"Ya akan jalan. Revisi PP 79 menjadi salah satu kenapa ini cepat dan lebih mudah," ujar Menko Kemaritiman ini.
Kementerian ESDM sebelumnya mengatakan PSC pertama East Natuna tidak selesai diteken sesuai waktu yang dijanjikan, September lalu. Pasalnya, Pertamina belum bisa memenuhi persyaratan dan ketentuan yang tercantum dalam draf kontrak yang disodorkan pemerintah.
Sementara Pertamina berkilah, masih terdapat enam masalah yang mengganjal proyek East Natuna, yang berakar dari tingginya kadar karbon dioksida (CO2) di blok migas tersebut.
Pertama, pengembangan sumur harus meliputi dua pekerjaan, yaitu sumur produksi dan sumur re-injeksi karbon dioksida. Namun setelah gas didapatkan, muncul tantangan berikutnya, yaitu penyediaan fasilitas pemrosesan khusus bagi karbon dioksida.
Untuk bisa menyediakan teknologi yang tepat, dibutuhkan investasi yang tidak sedikit. Setelah itu, perseroan masih harus menyiapkan area khusus penyimpanan karbon dioksida.
Masalah belum selesai, karena Pertamina terbentur persoalan aspek komersial. Ada du akendala yang menurut BUMN migas tersebut membuat pengembangan blok East Natuna menjadi tidak ekonomis. Yakni gas yang bisa dipasarkan kemungkinan lebih sedikit dari volume yang diproduksi karena banyaknya kandungan karbon dioksida. Kemudian, pemasarannya sulit karena letak lapangan gas jauh dari pasar konsumen.
(ags)