Jakarta, CNN Indonesia -- PT Pertamina (Persero) harus menempuh proses pajang sebelum menandatangani kontrak bagi hasil produksi (
Production Sharing Contract/PSC) Wilayah Kerja (WK) East Natuna.
Pasalnya, masih banyak masalah di dalam pengembangan blok East Natuna, yang perlu segera dipecahkan oleh Pertamina dan anggota konsorsium lainnya, yaitu ExxonMobil dan PTT Exploration and Production Pcl (PTTEP).
Vice President Corporate Communication Pertamina, Wianda Pusponegoro menjelaskan, setidaknya ada enam tantangan dalam pengembangan blok East Natuna yang kini menjadi perhatian perusahaan. Berbagai persoalan ini, lanjut Wianda, berakar dari tingginya kadar karbon dioksida (CO2) di East Natuna sebesar 72 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tantangan ini tentu menjadi barrier bagi Pertamina dan mitra-mitra kami dalam menggarap blok East Natuna. Kami pun tak boleh gegabah, karena pengerjaan blok East Natuna memiliki kompleksitas tinggi," ujar Wianda, Kamis (29/9)
Masalah pertama, katanya, pengembangan sumur harus meliputi dua pekerjaan, yaitu sumur produksi dan sumur re-injeksi karbon dioksida. Namun setelah gas didapatkan, muncul tantangan berikutnya, yaitu penyediaan fasilitas pemrosesan khusus bagi karbon dioksida.
Untuk bisa menyediakan teknologi yang tepat, lanjutnya, dibutuhkan investasi yang tidak sedikit. Kendati demikian, Wianda tak menyebut nominal pasti belanja modal untuk mengaplikasikan teknologi yang diperlukan.
"Tentu akan menjadi sangat mahal, apalagi fasilitas pemrosesan ini perlu memiliki volume terbesar di dunia. Namun setelah itu, muncul tantangan ketiga, di mana kami perlu melakukan konstruksi fasilitas pemrosesan terapung terbesar di dunia dengan lama pengerjaan sembilan tahun," tuturnya.
Apabila ketiga masalah itu sudah rampung, jelas Wianda, perusahaan masih harus menyiapkan area khusus penyimpanan karbon dioksida. Mengingat banyaknya fasilitas yang diperlukan, Pertamina dan mitra konsorsium rencananya akan segera membahas nilai investasi serta porsi-porsi hak partisipasi (
Participating interest/PI).
"Tak hanya dengan mitra, namun kami juga akan duduk dengan pemerintah seperti apa tantangan ke depan. Kami sebagai operator tentu harus siap mempersiapkan kebutuhan yang diperlukan di pengembangan East Natuna. Namun hingga sejauh ini, kami belum ada pembahasan lanjutan terkait pengembangan East Natuna," lanjut Wianda.
Di samping pengembangan lapangan, Wianda mengungkapkan, Pertamina juga terbentur masalah aspek komersial. Dia khawatir, gas yang dihasilkan dari blok East Natuna tidak akan ekonomis akibat dua kendala.
Kendalanya, gas yang bisa dipasarkan mungkin akan lebih sedikit dari volume yang diproduksi karena banyaknya kandungan karbon dioksida. Menurut data perusahaan, gas yang bisa dipasarkan hanya berkisar 1 miliar kaki kubik per hari (BSCFD), atau hanya seperempat dari produksi
raw gas sebesar 4 BSCFD.
"Tantangan yang paling akhir, pemasarannya mungkin sulit karena letak lapangan gas jauh dari pasar konsumen. Kami rasa enam masalah ini yang harus kami pecahkan dalam jangka waktu setahun ke depan. Bahkan, kami berharap akhir tahun nanti sudah ada kajian lengkapnya," terangnya.
Sebagai infromasi, Blok East Natuna volume gas di tempat (
Initial Gas in Place/IGIP) sebesar 222 triliun kaki kubik (tcf) dan cadangan terbukti sebesar 46 tcf. Sementara itu, pemerintah menargetkan PSC blok East Natuna bisa diteken tahun 2017 mendatang.
(ags/gen)