Jakarta, CNN Indonesia -- Wajah Bambang P.S. Brodjonegoro memerah. Ia bahkan tak kuasa membendung air mata saat harus melepaskan jabatan Menteri Keuangan pada 27 Juli 2016 lalu. Suaranya pun tampak berat dan sempat tersedu-sedu ketika harus menyampaikan kalimat perpisahan ke pegawai Kementerian keuangan yang hampir dua tahun dipimpinnya. Ia terpaksa harus pindah kantor ke Taman Suropati sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional.
Adalah Sri Mulyani Indrawati, orang yang diminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengambil alih posisi strategis sebagai jenderal Lapangan Banteng. Ia secara khusus diminta pulang ke Indonesia, meninggalkan kursi Direktur Pelaksana Bank Dunia yang telah didudukinya selama enam tahun terakhir.
Enam hari jadi Menkeu, Sri Mulyani langsung merombak postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016, yang sebenarnya baru sebulan direvisi Bambang di parlemen. Alasannya, APBN tidak kredibel karena target-target yang dibuat terlampaui tinggi dan tidak sesuai dengan kondisi makroekonomi saat ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan prediksinya, realisasi penerimaan perpajakan pada tahun ini akan meleset sekitar Rp219 triliun dari target Rp1.539,2 triliun di APBNP 2016. Solusinya, ia mengusulkan pemangkasan anggaran belanja Kementerian dan Lembaga (K/L) serta transfer ke daerah masing-masing Rp64,7 triliun dan Rp72,9 triliun. Padahal sebelumnya, Presiden telah menginstruksikan penghematan sekitar Rp50 triliun.
"Ini untuk menjaga postur APBN lebih baik sebagai perhitungan RAPBN 2017 yang lebih rasional dan kredibel," kata Sri Mulyani dalam Rapat bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kamis (25/8) lalu.
Sejak awal, Jokowi terlihat sangat ambisius dalam membuat target-target pembangunan. Namun dengan kapasitas fiskal yang terbatas, defisit APBN dibiarkan melebar hingga mendekati batas tertinggi yang diperbolehkan yaitu 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Apabila pada 2014 defisit APBN sebesar 2,28 persen PDB, maka pada 2015 membengkak menjadi 2,8 persen PDB. Tahun ini, defisit fiskal diperkirakan bakal menembus 2,7 persen PDB.
Saking tingginya target dibuat, Sigit Priadi Pramudito lempar handuk dan memilih melepas jabatan sebagai Direktur Jenderal Pajak. Suskesornya, Ken Dwijugiasteadi kemudian menjadikan kebijakan amnesti pajak sebagai jalan pintas untuk mencapai target tinggi penerimaan pajak. Maklum, penerimaan dari sektor pajak masih memberi kontribusi terbesar dompet pemerintah.
Terlepas dari kontroversi azas keadilan yang diabaikan, harus diakui pelaksanaan pengampunan pajak atau
tax amnesty pada tiga bulan pertama cukup berhasil merayu para penyembunyi harta untuk tobat. Tercatat hingga akhir September 2016, jumlah uang tebusan yang disetor oleh para penerima amnesti pajak senilai Rp97 triliun atau lebih dari separuh target Rp165 triliun sampai berakhirnya periode
tax amnesty pada Maret tahun depan.
Hanya saja, dana yang direpatriasi oleh peserta amnesti pajak masih jauh dari harapan. Hingga akhir September 2016 tercatat hanya Rp137 triliun atau baru 13,7 persen dari target total Rp1.000 triliun hingga akhir program.
Meski sudah ada
tax amnesty, Sri Mulyani tetap bertahan pada prediksi awalnya: ada potensi
shortfall pajak sebesar Rp219 triliun pada akhir tahun.
Ekonomi MelambatKebijakan fiskal ekspansif yang menjadi cerminan target ambisius Jokowi sejauh ini tak dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Nafsu belanja pemerintah yang tinggi ditambah 13 paket kebijakan ternyata belum mampu menjadi obat manjur pemulihan ekonomi domestik.
Tahun lalu, ekonomi hanya tumbuh 4,79 persen dari tahun sebelumnya 5,04 persen. Sementara hingga paruh pertama tahun ini, pertumbuhan ekonomi baru mencapai 5,04 persen dari target 5,2 persen. Sebuah realita yang jauh dari target pertumbuhan ekonomi yang digembar-gemborkan saat kampanye Pemilihan Presiden 2014, di mana Jokowi percaya diri mampu menggenjot pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen per tahun hingga 2019.
Belanja pemerintah yang masih sulit diharapkan, diperparah dengan kinerja ekspor yang melemah. Target pemerintah mendorong ekspor non migas naik 300 persen pada 2019 sejauh ini hanya menjadi "pepesan kosong". Karena ucapan Rachmat Gobel selaku Menteri Perdagangan kala itu tidak memperhatikan tren harga komoditas yang tengah terpuruk dan perlambatan ekonomi global yang memukul dari sisi permintaan.
Ada benarnya ucapan Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri. Ia pernah mengibaratkan target pertumbuhan ekspor non migas 300 persen sebagai "mimpi di siang bolong".
Pasalnya, sudah dua tahun sejak target tersebut digembar-gemborkan, ekspor non-migas bukannya naik, tetapi malah terus terjun ke arah negatif.
Dari minus 2,64 persen pada 2014, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekspor non migas tahun lalu negatif 9,77 persen. Tahun ini, sepanjang Januari-September 2016, realisasi ekspor non migas tercatat hanya sebesar US$94,66 miliar atau minus 6,09 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Dianggap gagal, Rachmat Gobel pun dicopot dari jabatannya oleh Jokowi pertengahan tahun lalu. Penggantinya, Thomas Trikasih Lembong juga tak mampu membalikkan tren negatif ekspor nasional. Hingga akhirnya, Jokowi menyerahkan kursi panas itu ke politisi Partai Nasional Demokrat, Enggartiasto Lukita.
Thomas Lembong, yang kini menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal kemudian memilih untuk melimpahkan kesalahan kebijakan ke pemerintah terdahulu. Dia menilai pemerintahan sebelumnya terlalu terbuai oleh
booming harga komoditas dan lupa membangun industri manufaktur. Akibatnya, Indonesia ditinggal oleh negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand.
Konsumsi masyarakat yang selama ini menjadi andalan ekonomi pun turut terpukul. Inflasi rendah yang diklaim pemerintah sebagai keberhasilan menjaga stabilitas harga justru bisa ditafsirkan sebagai cermin daya beli masyarakat yang turun.
BPS mencatat, realisasi inflasi tahun lalu hanya 3,35 persen, terendah dalam lima tahun terakhir. Inflasi tahun ini pun diperkirakan pemerintah tidak akan mencapai 4 persen.
DarminomicsIstilah Jokowinomics masih terngiang ditelinga kita, beberapa saat setelah Jokowi berhasil memenangkan kursi presiden yang diperebutkannya dengan Prabowo Subianto. Indeks pasar modal Indonesia menghijau dan terus mencatatkan rekor baru, sebagai respons positif pelaku pasar atas terpilihnya Jokowi. Euforia dan harapan atas perbaikan kesejahteraan rakyat berkembang dan membuncah, namun tidak bertahan lama menyusul tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi di tahun pertama Jokowi memimpin.
Kendati demikian, harus diakui sudah ada perubahan positif dari kinerja tim ekonomi terutama di tahun kedua Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Aksi pemerintah mulai tampak kelihatan greget-nya di kuartal III 2015, tepatnya ketika Darmin Nasution ditunjuk sebagai komandan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada 12 Agustus 2016.
Tim redaksi CNNIndonesia.com menyebutnya sebagai Darminomics. Satu per satu paket kebijakan deregulasi bermunculan sejak birokrat senior itu turun tangan membenahi ekonomi yang nyaris tak jalan hampir setahun pemerintahan.
Sudah 13 paket kebijakan di berbagai sektor ekonomi lahir dari tangan dingin mantan Direktur Jenderal Pajak dan Gubernur Bank Indonesia ini. Setidaknya target-target ekonomi yang tertuang dalam Nawacita sudah mulai terlihat arah dan strateginya berkat pemetaan masalah dan instruksi deregulasi yang disusun Darmin.
Namun, implementasi dari puluhan kebijakan yang masuk dalam 13 paket tersebut tak serta merta bisa berjalan dengan baik. Sejumlah hambatan teknis masih terjadi di kementerian dan lembaga pelaksana di lapangan. Berdasarkan hasil evaluasi Satuan Tugas khusus yang dibentuk untuk mengawal pelaksanaan paket kebijakan, banyak regulasi yang seharusnya dipangkas dan dibenahi belum dilaksanakan dengan optimal, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Sementara 13 paket kebijakan masih berada pada tataran gagasan, sejumlah paket kebijakan baru mengantri untuk dipublikasikan. Sebagai orang Jawa, Jokowi tampaknya memegang prinsip
alon-alon asal kelakon. Tapi jangan lupakan artinya,
pelan-pelan asal terlaksana. Kalau melaju pelan, apa iya target pertumbuhan ekonomi 7 persen bisa diwujudkan?
(ags/gen)