ANALISIS

Target Swasembada Pangan Jokowi Tergencet Kartel dan Impor

Yuliyanna Fauzi | CNN Indonesia
Rabu, 19 Okt 2016 12:30 WIB
Swasembada pangan jadi janji manis Presiden Jokowi ketika berupaya merebut kursi pemerintahan. Dua tahun berlalu, impor bahan pangan masih terjadi.
Swasembada pangan jadi janji manis Presiden Jokowi ketika berupaya merebut kursi pemerintahan. Dua tahun berlalu, impor bahan pangan masih terjadi. (CNNIndonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pertengahan September 2016 lalu, nama mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman jadi bulan-bulanan media karena masuk jaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) lembaga anti rasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Namanya santer diberitakan karena terseret kasus dugaan suap pemberian izin distribusi gula impor yang diberikan Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) kepada CV Semesta Berjaya (SB).

Publik terkejut karena Irman dianggap hanya menerima 'recehan', lantaran jumlah suap hanya sebesar Rp100 juta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun begitu, kasus ini boleh jadi semakin menambah catatan buruk sektor pangan yang seolah segala urusan bisnisnya bisa dimuluskan dengan gepokan uang.

Ini baru kasus korupsi yang melibatkan satu dua orang, belum lagi jenis kasus lain yang kerap menciderai sektor pangan, misalnya persaingan usaha yang tak sehat atau kartel, yang jelas-jelas lebih terstruktur lagi persekongkolannya.

Sebagai contoh, pertengahan tahun ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjatuhkan hukuman kepada 32 perusahaan penggemukan sapi atau feedlot karena dianggap melakukan permainan harga daging sapi impor.

Ujungnya, harga daging sapi kian melangit kala pasokan sapi lokal mati suri karena kendornya stamina peternakan lokal dalam mencukupi kebutuhan konsumsi daging masyarakat.

Tak hanya itu, KPPU belum lama ini memberi hukuman pada 12 perusahaan unggas hingga 19 perusahaan importir bawang putih lantaran dianggap melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Ini menjadi bukti, sekaligus diakui KPPU bahwa sektor pangan merupakan ladang subur bagi aksi main mata dan tipu-tipu yang berujung keuntungan pihak tertentu melalui pengadaan komoditas pangan.

"Sektor pangan memang kerap diciderai kartel. KPPU fokus mengungkap kartel sektor pangan. Di saat yang bersamaan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga galak membenahi persoalan pangan secara mendalam agar swasembada pangan tercapai," ungkap Ketua KPPU Syarkawi Rauf saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (17/10).

Maraknya korupsi dan kartel di sektor pangan, dalam dua tahun terakhir ini saja, disinyalir Syarkawi merupakan warisan berbagai kebijakan dari pemerintah terdahulu.

Namun, angkanya kian bertambah dengan kasus yang semakin rumit karena kerap melibatkan pemain-pemain besar di sektor yang menguasai perut orang banyak.

"Ini dampak kebijakan terdahulu, misalnya kartel daging sapi. Sejak 2009, pemerintah mendorong swasembada daging sapi padahal saat itu, 60 persen kebutuhan masih ditutup impor. Jadi, semakin banyak yang ambil peran jadi importir karena melihat ada laba besar," jelas Syarkawi.

Satu kritik Syarkawi bagi pemerintahan Jokowi adalah, janji kampanye yang dilontarkan saat merebut kursi kepresidenan untuk menciptakan swasembada pangan justru tak dibarengi dengan kemampuan pemerintah dalam mencukupi pasokan.

Akibatnya, peluang ini dimanfaatkan sejumlah pihak untuk memasok pangan melalui impor yang berujung korupsi dan kartel.

Bahkan Syarkawi menilai, tugas rumah pemerintah saat ini bukanlah mengejar swasembada pangan. Namun, yang perlu dibenahi lebih dulu adalah membuat korupsi dan kartel pangan tak lagi bisa bernafas sehingga pemenuhan kebutuhan pangan tidak dibarengi dengan kebocoran lagi.

Untuk itu perlu kebijakan tambahan yang menguatkan peran KPPU, yakni dari sisi kelembagaan dan pengaturan hukuman yang kian memberatkan.

"Tentu kewenangan untuk investigasi atau penyelidikan perlu dipertajam. Bahkan harus lebih terstruktur dengan kerja sama dari pihak Kepolisian. Serta memberikan denda maksimal, lebih dari yang sekarang diterapkan, yakni Rp25 miliar," jelasnya.

Celah Distribusi

Tak hanya permainan pasokan dan harga pangan di level korporasi, masyarakat juga harus dihadapkan pada permainan kecil dari pedagang, yang muncul dari celah-celah distribusi yang mengalami kebocoran.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengakui hal ini masih kerap terjadi. Padahal, instansi tempatnya bekerja sudah berupaya melakukan restrukturisasi mata rantai perdagangan pangan.

"Kita coba dengan memotong mata rantainya, kita berikan peran kepada beberapa pihak untuk ikut menjadi distributor resmi agar tak ada kebocoran, misalnya penugasan kepada Bulog atau perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lainnya," ujar Oke.

Tak hanya itu, pemerintah bahkan menetapkan harga acuan untuk sejumlah komoditas pangan utama yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 63 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen.

Komoditas yang ditetapkan harga acuannya agar tidak melambung tinggi di masyarakat adalah beras, jagung, kedelai, gula, bawang merah, cabai, dan daging sapi.

Namun begitu, permainan harga masih kerap terjadi bahkan harga pangan masih belum merata karena terganjal biaya distribusi yang tinggi akibat tak ekonomisnya harga angkut pangan.

Hal ini yang lagi-lagi dimanfaatkan sejumlah tangan nakal untuk memainkan harga hingga menjulang meninggi.

Belum seragamnya data pangan, baik harga dan pasokan, juga dituding menjadi salah satu alasan masih munculnya berbagai kebocoran di sektor pangan.

"Ini yang ditekankan Presiden Jokowi kepada Badan Pusat Statistik (BPS) untuk membuat data pangan yang stabil dan satu data. Ini yang terus kita perbaiki," ungkap Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo.

Pasalnya, data yang dikeluarkan tiap-tiap Kementerian/Lembaga (K/L) kerap tak sinkron satu sama lain. Suatu kementerian bisa saja menerbitkan data yang menyebutkan angka produksi pangan yang bombastis, agar tidak disentil penguasa negeri. Kenyataan di lapangan, ketika produksi sudah dibilang memadai, namun nyatanya harga ke konsumen masih enggan membumi.

Oleh karena itu Sasmito menyebut pemerintah membutuhkan satu data yang pasti dan dapat mewakili sejumlah K/L serta dihimpun dalam satu lembaga sendiri.

Dilema Impor

Pemerintah bisa dibilang belum menepati janjinya menciptakan swasembada pangan untuk masyarakat. Karena sampai saat ini, beras sebagai komoditas pangan utama yang bisa mengenyangkan perut orang Indonesia masih terus diimpor.

Untuk urusan beras impor, BPS mencatat dalam sembilan bulan terakhir jumlahnya yang masuk ke Indonesia sudah mencapai 1,14 juta ton dengan nilai US$472,5 juta.

Padahal Kementerian Pertanian terus meneriakkan bahwa impor beras mengalami penurunan, namun data justru berkata lain.

"Beras khusus itu (impor), jumlahnya kecil. Padahal produksi kita 45 juta ton. Jadi, apa artinya kalau hanya segitu," ungkap Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, beberapa waktu lalu.

Itu baru perkara beras, belum lagi komoditas daging sapi yang tak pernah absen diimpor. Bahkan jumlahnya terus bertambah dari berbagai negara.

Belum lama ini saja, pemerintah mengambil impor daging kerbau dari India untuk ikut menutupi kekurangan daging sapi di masyarakat sekaligus mengatrol harga daging dikisaran Rp65 ribu per kilogram (kg).

Dari segi pasokan memang terisi tapi tak demikian dengan harga, harga daging sapi justru masih dikisaran Rp100 ribu sampai Rp120 ribu per kg.

Pasalnya, pemerintah hanya memberi asupan pasokan dari impor tanpa dibarengi dengan pembenahan peternakan sapi di Indonesia. Alhasil, pasokan lokal terus menipis dan mau tidak mau ditutup impor.

"Sama halnya dengan daging sapi, untuk beras, seharusnya irigasi dan pembangunan sawah dimaksimalkan. Kalau tidak, produksi jelas tak maksimal," kata Sasmito.

Kesejahteraan Petani

Lepas dari masalah korupsi, kartel, distribusi hingga dilematika impor yang mewarnai sektor pangan, sesungguhnya masih banyak yang harus dibenahi pemerintah.

"Yang perlu diingat, swasembada pangan dalam Nawacita Presiden Jokowi ini, tujuannya kepada kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani," kata Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas.

Ia menyebut tujuan negara untuk mensejahterakan petani masih jauh panggang dari api. Dwi mencatat, dalam setahun saja jumlah tenaga kerja bidang pertanian yang melepas pekerjaannya mencapai 1,8 juta petani.

Sementara itu, dalam 10 tahun terakhir tercatat lima juta keluarga petani harus meninggalkan sektor pertanian dan beralih ke sektor lain yang bisa lebih tebal mengepulkan asap di dapur.

BPS juga mencatat, upah nominal harian buruh tani Indonesia pada September 2016 hanya naik 0,24 persen dari Rp48.120 per orang per hari menjadi Rp48.235 per orang per hari.

"Kenaikan ini masih terlalu kecil dan masih menciptakan kesenjangan pendapatan pada kalangan petani. Presiden Jokowi telah gagal merealisasikan janji kampanyenya untuk menekan kesenjangan pendapatan," ungkap Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal.

Tak hanya soal upah, Dwi Andreas juga mempertanyakan perlindungan dan kesempatan bekerja bagi petani yang diberikan pemerintah. Kementerian Pertanian ditudingnya tidak mampu melindungi produksi petani hingga tak mendengarkan suara petani pada penetapan kebijakan.

"Biaya produksi kedelai di Indonesia Rp9 ribu per kg. Lalu, pemerintah mengimpor kedelai dengan harga Rp6 ribu per kg. Dari situ saja sudah tidak adil. Tak melindungi produksi petani namanya," imbuh Dwi.

Belum lagi, petani Indonesia masih minim mendapat subsidi dari pemerintah. Padahal di negara lain, petani justru lebih dihargai.

"Petani di negara luar, subsidinya luar biasa, sangat tinggi sehingga apa yang mereka produksi bisa ditekan dengan sangat rendah. Bahkan kalau mereka bisa mengekspor hasil pertanian mereka, justru subsidinya semakin besar," jelasnya.

Kemudian, dari sisi keterlibatan suara petani dalam kebijakan, Dwi menilai, keterlibatannya masih minim. Adapun sejumlah asosiasi petani rupanya masih belum ampuh menampung suara petani.

Terakhir, percetakan lahan pertanian juga belum maksimal. Target 9 juta hektare lahan pertanian yang diwacanakan Presiden Jokowi rupanya masih minim realisasi.

"Tentu belum realisasinya. Bahkan satu juta hektare saja belum. Seharusnya pemerintah bisa adakan kerja sama dengan berbagai pihak untuk ikut mengejar realisasi ini," tutup Dwi. (gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER