Jakarta, CNN Indonesia -- Winarto, salah satu
trader senior di pasar modal Indonesia masih ingat benar ketika Joko Widodo mencalonkan diri menjadi Presiden Indonesia dua tahun silam. Kala itu perusahaan aset manajemen dan sekuritas berlomba melempar riset yang menyatakan optimisme.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat diramalkan tembus level 6.000 jika Jokowi menang pemilu.
“Ekspektasinya terlalu tinggi di awal. Kondisi memang lebih baik sih saat ini. Tapi ya, tidak setinggi prediksi awal,” ujar lelaki berusia 59 tahun ini kepada CNNIndonesia.com, Rabu (19/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memang, euforia pencalonan Jokowi sempat mengalir ke lantai bursa dan membuat IHSG menanjak. Pada 14 Maret 2014, ketika Jokowi menyatakan maju sebagai kandidat Presiden, pelaku pasar langsung memberikan reaksi positif. Kala itu, IHSG melambung hingga 3,23 persen dalam sehari, mencapai level 4.878.
Istilah Jokowi
Effect kemudian muncul di pasar keuangan.
Jokowi
Effect berlanjut lagi pada Juli 2014. Usai keluarnya data proses perhitungan cepat atau
quick count dari beberapa lembaga survei pada Rabu, 9 Juli 2014 yang menyatakan Jokowi unggul, IHSG kembali melambung. Pada perdagangan sehari sesudahnya, IHSG dibuka menguat hingga menembus level 5.100 dan ditutup naik 1,46 persen ke level 5.098. Saat itu, rupiah masih perkasa di level Rp11.574 per dolar Amerika Serikat (AS).
Menguatnya IHSG pada saat itu juga tak lepas dari banyaknya dukungan perusahaan investasi asing yang pro-Jokowi. Pada awal Februari 2014, perusahaan finansial asal Negeri Paman Sam, Morgan Stanley bahkan menyebut nilai rupiah bakal terus menguat jika Jokowi menjadi kandidat presiden.
Hal itu serta-merta membuat dana asing mengucur deras ke pasar uang Indonesia. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), pada kuartal I 2014 pemodal asing mencetak aksi beli bersih hingga Rp24,62 triliun. Hal itu kemudian berlanjut pada kuartal II 2014 di mana investor asing mengucurkan Rp19,49 triliun ke lantai bursa.
Penguatan indeks terus berlanjut hingga mencapai puncaknya pada 6 April 2015. Kala itu IHSG mencapai level 5.523, level tertinggi sepanjang masa. Jika dihitung sejak 20 Oktober 2014, dimana Jokowi menduduki kursi Presiden, maka IHSG telah melambung 9,82 persen. Bahkan, jika dihitung sejak Jokowi mencalonkan diri menjadi Presiden, maka IHSG telah melambung hingga 13,22 persen!
Sayang disayang, Jokowi
Effect tampaknya tidak mampu menahan terpaan badai keuangan global yang datang silih berganti. Setelah mencapai puncaknya di level 5.523, IHSG berangsur longsor dan mencatatkan pelemahan 12,13 persen sepanjang 2015.
Hal itu turut dialami Winarto setiap hari. Pedagang saham yang telah jungkir balik di lantai bursa sejak 2009 ini mengaku sentimen ekonomi global masih dominan. Hal itu, lanjutnya, membuat kebijakan pemerintah tidak terlalu berpengaruh ke pasar modal.
“Kondisi bursa 2015 masih
flat. Lebih banyak pengaruh global. Sempat naik, tapi begitu Agustus melempem lagi,” keluhnya
 Ilustrasi. (CNN Indonesia/Laudy Gracivia) |
Kini, situasi membaik secara statistik. IHSG menjadi salah satu indeks dengan kinerja cemerlang di antara bursa-bursa saham dunia. Indeks mampu mekar 18,22 persen sejak awal 2016 hingga Selasa, 18 Oktober lalu.
Dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, IHSG hanya kalah dari bursa Brasil yang melonjak 47,13 persen.
Di kawasan Asean, IHSG memimpin balapan, berada di depan bursa Thailand yang menanjak 14,66 persen, Filipina yang naik 8,9 persen. Sementara, bursa Singapura longsor 1,81 persen, diikuti bursa Malaysia yang turun 1,47 persen.
“Saat ini, portofolio saya naik hampir 15 persen kalau dihitung sejak awal tahun. Lebih baik lah dari tahun-tahun sebelumnya. Tapi kalau IHSG 6.000, ya kita tak tahu kapan,” tutur Winarto.
Manuver Reshuffle dan Amnesti PajakUntungnya, aksi Jokowi dalam merombak kabinet terutama di tim ekonomi terbilang apik. Apalagi, kembalinya mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan membuat gairah pelaku pasar kembali menggebu.
Seperti kita ketahui, perombakan kabinet yang dilakukan Jokowi tidak tangung-tanggung. Tercatat, tim ekonomi yang diganti adalah Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Kepala Badan Perencana Pembangunan Nasional, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan baru-baru ini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
“
Reshuffle efeknya positif. Apalagi dengan masuknya Sri Mulyani. Dengan kualitas Sri Mulyani, saya yakin lembaga rating S&P berani menaikkan peringkat investasi Indonesia,” ujar ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih.
Asal tahu saja, S&P hingga kini belum memberikan peringkat layak investasi untuk Indonesia. Padahal, dua lembaga pemeringkat lainnya, Fitch dan Moody's telah menyematkan peringkat layak investasi.
Hal lain yang menjadi perangsang atmosfer ekonomi dalam negeri adalah munculnya program pengampunan (amnesti) pajak. Iming-iming triliunan rupiah repatriasi amnesti pajak yang akan mengalir ke lantai bursa, membuat pelaku pasar kembali mengalami euforia.
 Ilustrasi. (CNN Indonesia/Laudy Gracivia) |
Dalam perjalanannya, pelaksanaan amnesti pajak di periode I terbilang sukses. Pemerintah mampu mengantongi uang tebusan sebesar Rp89 triliun, atau setara 53,93 persen dari target uang tebusan Rp165 triliun yang diidamkan sampai habisnya program amnesti pajak pada akhir Maret 2017.
Sayangnya, jumlah dana repatriasi sepanjang periode I baru mencapai Rp137 triliun. Jumlah itu diperkirakan hanya 13 persen dari total harta warga negara Indonesia (WNI) yang disembunyikan di luar negeri.
“Memang repatriasi masih belum maksimal. Tapi setidaknya target tebusan sudah di atas ekspektasi. Kita lihat saja nanti,” jelasnya.
Di sisi lain, Kepala Riset Universal Broker Indonesia Satrio Utomo mengatakan, pelemahan yang sempat terjadi pada 2015 membuat sebagian besar orang masih menahan diri dalam melakukan ekspansi ekonomi. Apalagi, ekspektasi yang terlampau tinggi di awal pemerintahan sempat dihajar dengan realita yang buruk.
“Semangat dari masyarakat belum
rebound. Banyak yang masih ketakutan, belum tenang.”
Ekspektasi. Hal itu adalah salah satu kata kunci penggerak roda ekonomi di segala lini, mulai sektor riil hingga non-riil seperti saham. Ekonomi yang baik muncul dari ekspektasi positif, disusul realisasi yang sesuai.
Vice versa.
Kini, para pencari cuan itu masih menahan diri, membaca gejala. Berharap ekspektasi indah tersebut menjadi kenyataan. Entah kapan.
(gen)