Jakarta, CNN Indonesia -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menorehkan rapor merah atas upaya pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) memperbaiki daya saing. Menurut Indef, selama dua tahun terakhir, indikator daya saing Indonesia semakin terpuruk.
"Karena, indikator daya saing memburuk, kami memberikan rapor merah atau C minus," ujar Direktur Eksekutif INDEF Enny Sri Hartati, Kamis (20/10).
Hal ini sangat disayangkan, mengingat perbaikan daya saing merupakan salah satu agenda nawacita Jokowi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, Eko Listyanto, peneliti Indef bilang, peringkat Global Competitiveness Index Indonesia yang dirilis World Economic Forum melorot dari 34 pada tahun 2014 menjadi 37 pada tahun 2015, dan 41 pada tahun ini.
"Di kacamata global, peringkat daya saing Indonesia memburuk," kata Eko di tempat yang sama.
Penilaian GCI diambil berdasarkan belasan aspek kunci. Memburuknya peringkat Indonesia utamanya disebabkan oleh aspek institusi, kesehatan, dan pendidikan, inefisiensi pasar, ketersediaan teknologi, kecanggihan bisnis, termasuk inovasi yang belum menunjukkan perbaikan berarti.
Sebagai pembanding, India dalam tempo dua tahun berhasil menaikkan peringkat daya saing globalnya dari 55 pada tahun lalu menjadi 39 pada tahun ini. Dalam temuan itu, Indonesia cuma lebih baik dari India dalam aspek penyediaan kebutuhan dasar dan ukuran pasar.
Tak hanya itu, paket kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan investasi masih minim implementasi. Akibatnya, kemudahan melakukan bisnis di dalam negeri belum meningkat secara signifikan.
Tahun ini, Bank Dunia mencatat, peringkat kemudahan melakukan usaha (ease of doing business) Indonesia masih ada di posisi 109 atau jauh di bawah Malaysia (18), Thailand (49), Vietnam (90), dan Filipina (103).
"Padahal, paket kebijakan ekonomi nyaris 80 persen bercerita untuk mendongkrak investasi dan menaikkan kegiatan ekonomi," imbuh Eko.
Turunnya daya saing Indonesia juga diperparah dengan peran industri manufaktur yang kian rontok. Sekalipun pertumbuhan ekonomi masih berkisar 5 persen, tapi kontrobusi sektor industri pengolahan/manufaktur bagi pertumbuhan ekonomi semakin mengalami penurunan.
"Posisi saat ini, kontribusi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi tinggal 20 persen padahal di tahun 2001 nyaris 30 persen-an," terang dia.
Implementasi hilirisasi industri juga masih minim, sehingga ketergantungan atas hasil ekspor komoditas belum dapat teratasi. Akibatnya, nilai ekspor Indonesia sangat rentan terhadap gejolak perekonomian global.
Mengutip data keluaran Deloitte, kontribusi sektor manufaktur terhadap ekspor Indonesia masih rendah, yaitu hanya 40 persen. Sementara, Malaysia 62 persen, Thailand 73 persen, dan China 94 persen.