Jakarta, CNN Indonesia -- Nafian Faiz, penambak dan pengusaha udang di Bumi Dipasena Jaya, Tulang Bawang, Lampung, sudah 24 tahun menggeluti usaha budidaya udang. Pria asli Lampung ini mengaku telah beberapa kali jatuh bangun dalam mengembangkan usaha budidaya udang.
Kali pertama menjadi penambak dan pengusaha udang, ia mencoba pola kemitraan inti plasma. Ia mengandalkan bank melalui perusahaan inti sebagai sumber pendanaan. Namun, alih-alih mendulang sukses, percobaan pertama Nafian justru menjeratnya dengan lilitan utang.
Pria berusia 47 tahun tersebut tak patah arang. Ia kembali menjajal pola kemitraan sejenis dengan perusahaan inti lainnya. Tak muluk-muluk, ia hanya menaruh harapan menjadi piawai di bidangnya dan sukses memproduksi udang. Kenyataannya, pola inti plasma yang digelutinya hanya menumpuk tagihan demi tagihan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nafian tidak sendirian. Di Lampung, ribuan petambak dan pengusaha udang mengalami hal serupa. Berbekal pengalaman pahit tersebut, ia dan 5 ribu petambak dan pengusaha udang di Lampung memutuskan untuk swadaya, bahu membahu saling membantu satu sama lain, mendukung kebutuhan permodalan dan ekspansi usaha.
"Kami menerapkan pola investasi untuk pendanaan bersama. Kami menyisihkan Rp1.000 untuk setiap satu kilogram (kg) udang yang dihasilkan. Dana ini diparkir dalam rekening bersama dan digunakan atas persetujuan bersama. Saat ini, dana terkumpul mencapai Rp29 miliar," ujar Nafian sekaligus Ketua Perhimpunan Penambak dan Pengusaha Udang Wilayah Lampung kepada CNNIndonesia.com, Selasa (18/10).
 Infografis: CNN Indonesia/Laudy Gracivia Realisasi program Jaring Agustus 2016 |
Pada tahun pertama dan kedua sejak dana dihimpun, petambak dan pengusaha udang memutuskan untuk memperbaiki infrastruktur tambak, mengeruk kanal, membeli alat-alat penunjang, seperti ponton atau tongkang. Barulah di tahun ketiganya, yaitu 2016, mereka memutuskan untuk mulai memproduksi, dan tahun depan meningkatkan produksi.
"Kalau memanfaatkan kredit atau pembiayaan dari bank, kami kena bunga. Dengan skema investasi yang kami jalankan tiga tahun terakhir ini, kami mendapatkan sisa hasil usaha. Kami bisa kelola secara swadaya, bertanggungjawab. Kami butuh bank hanya untuk menampung dana kami," imbuh Nafian yang memulai budidaya udang sejak 1992.
Lain Nafian, lain pula cerita Sutrisno. Salah satu nelayan tradisional di Medan tersebut memilih untuk membentuk koperasi di desa tempatnya tinggal bersama 74 nelayan tradisional lainnya. Koperasi ini merupakan koperasi simpan pinjam yang melayani kebutuhan permodalan para anggotanya.
“Rata-rata kebutuhan nelayan di desa kami sekitar Rp7 juta untuk modal atau memperbaiki kapal. Nah, itu biasanya tercukupi dari koperasi. Sehingga, belum terlalu membutuhkan peran lembaga keuangan. Lagipula, nelayan seperti kami sulit, karena bunganya tinggi,” terang Sutrisno.
Baik Nafian maupun Sutrisno, sebetulnya sama-sama pernah mendengar program Jangkau, Sinergi, dan
Guideline (Jaring) hasil kerja sama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Program ini ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan pembiayaan di sektor kelautan dan perikanan.
Namun, kedua pelaku usaha tersebut justru pesimistis. Nafian berpendapat, pembiayaan akan menjerat pelaku usaha dalam lilitan utang karena bunga tinggi dan tenor yang panjang. Sementara, Sutrisno khawatir, syarat yang diminta bank tak mampu dipenuhinya, terutama dalam memberi agunan kapal yang layak.
Program Jaring sendiri dirintis OJK sejak 2014. Kehadiran program ini tidak lain sebagai bentuk dukungan lembaga keuangan terhadap salah satu prioritas Presiden Joko Widodo (Jokowi), yakni mendorong pertumbuhan sektor kemaritiman Indonesia.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sempat mengkritik sulitnya akses pembiayaan dari lembaga keuangan kepada pelaku usaha sektor kelautan dan perikanan, terutama nelayan kecil. Padahal, sektor kelautan dan perikanan memiliki potensi besar bagi perekonomian nasional.
Menilik data OJK, total pembiayaan delapan bank dan konsorsium industri keuangan non bank (IKNB) pada tahap awal Jaring meluncur adalah sebesar Rp 10,8 triliun hingga Desember 2014. Sebagai informasi, pada tahap awal peluncuran program Jaring, terdapat delapan bank pelopor pembiayaan sektor kelautan dan perikanan yang merupakan bank mitra program Jaring.
Delapan bank tersebut adalah BNI, BRI, Bank Mandiri, BTPN, Bank Danamon, Bank Permata, Bank Bukopin, dan BPD Sulselbar. Selain itu, ada juga konsorsium IKNB. Kemudian pada kuartal ketiga 2015, jumlah bank mitra Jaring bertambah lima, yakni BCA, Bank CIMB Niaga, Bank Maybank Indonesia, Bank Sinarmas, dan BPD Jawa Timur.
Adapun, penyaluran kredit baru ke sektor kelautan dan perikanan berkembang mencapai Rp4,41 triliun hingga kuartal ketiga tahun lalu. Jumlah ini berlipat-lipat mencapai Rp22,52 triliun hingga Agustus 2016.
Slamet Edy Purnomo, Ketua Program Jaring sekaligus Kepala Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan OJK mengatakan, sejak 2011-2015, secara umum, kredit sektor maritim dan sektor kelautan dan perikanan bertumbuh masing-masing 108,88 persen dan 133,06 persen.
Apa artinya? Artinya, meski jumlah pembiayaan ke sektor maritim dan kelautan dan perikanan masih mini, bahkan tidak seberapa dibandingkan dengan total kredit bank umum yang lebih dari Rp4 ribu triliun, namun peluangnya untuk bertumbuh masih terbuka lebar.
Hal ini dikarenakan sebesar 70 persen wilayah Indonesia adalah laut. Jangan heran apabila Jokowi ingin mempercepat pembangunan kelautan. “Kita meyakini masa depan ada di laut. Kita akan menjadi negara besar, kalau mampu menjaga dan mampu memanfaatkan potensi kelautan kita,” tegas Jokowi, belum lama ini.
Saat ini, kontribusi sektor kelautan terhadap perekonomian nasional di bawah 30 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau di bawah Rp3,4 triliun per tahun. Padahal, hitung-hitungan Jokowi menyebutkan, potensi sektor kelautan Indonesia mencapai US$1,2 triliun per tahun, setara dengan Rp15.600 triliun.
Sektor Ikan Jadi TantanganUntuk menangkap peluang dari sektor kelautan, OJK menggandeng KKP dan pelaku jasa keuangan getol mensosialisaikan program Jaring. Hasilnya, selama satu tahun terakhir, penyaluran kredit di sektor kelautan dan perikanan meningkat drastis.
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, misalnya. Bank pelat merah tersebut tercatat membukukan kredit program Jaring sebesar Rp1,33 triliun per Agustus 2016. Realisasi itu mencapai 106,4 persen dari target perseroan sebesar Rp1,25 triliun hingga akhir tahun nanti.
Sementara, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk mencatat kredit program Jaring tembus Rp3,87 triliun per kuartal III 2016. Jumlah ini mencapai 101,81 persen dari target perseroan yang sebesar Rp3,8 triliun di sepanjang tahun 2016.
Namun, di tengah pertumbuhan deras pembiayaan di sektor kelautan dan perikanan, bank-bank juga mengakui kesulitan menjangkau para debitur yang menjadi sasaran program Jaring. Rohan Hafas, Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri bilang, sektor perikanan memiliki resiko terbesar jika dibandingkan dengan sektor maritim dan kelautan.
“Sektor perikanan tangkap memiliki resiko tinggi, karena terkait kondisi alam dan faktor cuaca, juga keterbatasan komunitas nelayan ke perbankan, keterbatasan sumber daya manusia yang paham akan model bisnis sektor perikanan,” terang dia.
Selain itu, Bianto Surodjo, Direktur Retail Banking PT Bank Permata Tbk menambahkan, pengalaman manajemen dalam menyalurkan kredit sektor maritim, kelautan dan perikanan juga terbatasnya data yang dimiliki oleh nasabah merupakan tantangan dalam penyaluran kredit program Jaring.
“Tetapi, program Jaring adalah program yang tepat untuk membantu industri maritim di Indonesia dan sejalan dengan kebijakan pemerintahan Jokowi,” pungkasnya.
Namun tanpa dibarengi dengan sosialisasi program Jaring yang tepat sasaran, bagaimana pemerintah bisa menjawab ketakutan petambak atau nelayan kecil seperti Nafian dan Sutrisno di atas? Apakah suatu program bisa dinilai berhasil hanya berdasarkan data statistik belaka?
Padahal realitanya di lapangan, banyak petambak dan nelayan yang menjadi target program tersebut, lebih memilih mencari utangan dari rentenir. Atau bahkan memiliki ide kreatif untuk menolong diri dan komunitasnya sendiri, tanpa memerlukan kehadiran pemerintah.
(bir/gen)