Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mencari upaya agar harga gas bumi bagi pelanggan industri bisa dilego kurang dari US$6 per MMBTU. Salah satu caranya adalah dengan mengorbankan pendapatan yang diterima pemerintah dari sektor hulu minyak dan gas bumi (migas).
Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM I Gusti Nyoman Wiratmaja menjelaskan, memangkas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) saja tidak akan ampuh menekan harga gas sampai di bawah US$6 per MMBTU sesuai keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Oleh karena itu, instansinya mengusulkan agar pemerintah juga merelakan hilangnya Pajak Penghasilan (PPh) dari setiap penjualan gas milik negara kepada industri pengguna.
Dari kalkulasi 52 Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) milik Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) ke industri pengguna, Wiratmaja berhitung penerimaan negara akan berkurang US$544 juta jika PNBP dihapuskan. Namun, langkah itu efektif menggiring harga gas menjadi US$5,01 per MMBTU dari rata-rata harga US$8,3 per MMBTU.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, negara harus siap mengikhlaskan pendapatan US$1,26 miliar per tahun dari PNBP dan PPh jika mau harga gas industri menyentuh US$3,82 per MMBTU.
"Tapi untuk mengurangi penerimaan negara ini kan perlu persetujuan dari Kementerian Keuangan. Begitu pun dengan PNBP, juga perlu ada persetujuan dari Kementerian Koordinator bidang Perekonomian. Memang harga bisa di bawah US$4 per MMBTU, tapi tak mudah," jelas Wiratmaja, Senin (24/10).
Ia melanjutkan, penurunan harga melalui pemangkasan penerimaan negara juga hanya efektif bagi gas pipa yang disalurkan langsung dari KKKS ke industri pengguna. Cara yang sama tidak bisa diberlakukan pada gas alam cair (
Liquefied Natural Gas/LNG), karena proses pengolahan dan distribusinya yang panjang.
Wiratmaja melanjutkan, saat ini rata-rata harga gas hulu, baik bagi gas pipa maupun LNG, tercatat sebesar US$5,9 per MMBTU. Untuk gas pipa, harga rata-rata transmisi dan distribusinya hanya sekitar US$2,4 per MMBTU, sehingga rata-rata harga ketika sampai di konsumen sebesar US$8,3 per MMBTU.
Sementara itu, harga LNG bisa lebih mahal US$2,5 per MMBTU dan US$6,83 per MMBTU karena adanya proses likuifikasi, regasifikasi, dan pengapalan (
shipping). Sehingga, upaya pengurangan penerimaan negara terbilang kurang efektif bagi untuk menekan harga LNG.
"Kembali lagi, memang efisiensi yang lebih efektif hanya bisa dilakukan di transmisi dan distribusinya. Kami sudah coba ubah kebijakan seperti pengaturan distribusi berlapis, kemudian akan mencoba regulated margin supaya lebih adil," tuturnya.
Di samping itu, ia berharap KKKS juga terus melakukan efisiensi biaya operasional (
operational expenditure/
opex) dan belanja modal (
capital expenditure/
capex) agar harga gas di hulu bisa efisien.
"Dan kalau ada
capex dan
opex yang lebih murah, bukan berarti nanti produksi juga ikut tertahan. Sekarang kan harga jasa-jasa migas sedang murah, kami ingin KKKS menyesuaikan pengeluarannya dengan kondisi tersebut," jelas Wiratmaja.
(gen)