Jakarta, CNN Indonesia -- Instan. Satu kata tersebut cukup menggambarkan wacana pemerintah membuka keran impor gas alam cair (
liquefied natural gas/LNG) demi menekan harga gas yang dibeli pelaku industri di kawasan Barat Indonesia.
Pelaksana tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Panjaitan sebagai pelontar wacana meyakini, instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar harga gas bisa turun mulai bulan depan bisa diselesaikan lewat cara ini.
Maklum, RI 1 meminta angka penurunan harga yang signifikan yaitu menjadi maksimal US$6 per MMBTU dari posisi saat ini US$9,5 - US$12 per MMBTU. Bahkan, instruksi telah diberikan Jokowi sejak lima bulan lalu ketika dirinya meneken Perpres Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beragam cara pun telah dilakukan para petinggi Kementerian ESDM untuk menekan harga gas. Namun semuanya seolah jalan di tempat untuk tidak menyebut kandas di tengah jalan.
Mulai dari menyunat penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari kontrak bagi hasil penjualan gas dengan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sebesar US$3,5 miliar, yang setelah di evaluasi ternyata hanya mampu menurunkan harga gas US$0,8 per MMBTU.
Ada juga rencana menggabungkan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) sebagai anak usaha PT Pertamina (Persero) dalam kerangka
holding BUMN. Formula ini diyakini bakal menghemat biaya investasi dan operasional kedua perusahaan, sehingga bisa mengurangi harga jual ke konsumen. Namun lagi-lagi, Jokowi belum juga meneken payung hukum pembentukan
holding BUMN sektor energi.
Mungkin Luhut gerah dengan kondisi yang ada, hingga menelurkan gagasan impor LNG sebagai solusi mudah menekan harga gas industri.
"Di Indonesia Barat seperti di Aceh, harus bawa LNG dari Papua ke sana, itu harus dipikirkan. Kenapa tidak impor saja?,” ujar Luhut di Gedung Kementerian ESDM, kemarin.
Dengan langkah ini, Luhut yakin harga gas bisa lebih murah US$5 per MMBTU. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman ini menghitung harga LNG impor saat ini rata-rata US$3 per MMBTU hingga US$4 per MMBTU.
Jika ditambah biaya regasifikasi dan distribusi dengan rentang harga US$4 per MMBTU dan US$5 per MMBTU, maka harga jualnya di Sumatera Utara bisa mencapai US$8 per MMBTU. Lebih murah dibandingkan rata-rata harga gas domestik yang dibeli pelanggan di wilayah tersebut US$12 - US$13 per MMBTU.
"Peraturan dan tata caranya sedang di-
exercise, lalu gas yang di Indonesia Timur bisa difokuskan untuk ekspor," jelas Luhut.
Terdengar mudah dan brilian ide tersebut. Namun di usianya menjabat jenderal sektor energi yang masih muda, mungkin Luhut belum mendapat informasi dari anak buahnya bahwa per Juni 2016 lalu masih ada 17,9 kargo LNG hasil produksi bumi Indonesia yang belum memiliki pembeli karena berkurangnya permintaan.
Meski angka ini lebih rendah dibandingkan 20 kargo LNG yang tidak terjual tahun lalu, namun seharusnya produksi gas berlebih dari lapangan domestik diprioritaskan lebih dulu penggunaannya oleh pemerintah.
Berlanjut Tahun DepanApalagi, rendahnya permintaan LNG dari pasar luar negeri diperkirakan bakal berlanjut tahun depan. Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM I Gusti Nyoman Wiratmaja memperkirakan tahun depan, ada 30 kargo LNG yang belum memiliki pembeli.
"Sebetulnya yang kami inginkan itu bagaimana
excess LNG ini bisa terserap dengan pasar. Ini diharapkan bisa menjadi pertimbangan, apakah Indonesia perlu melakukan impor atau tidak," jelas Wiratmaja, Selasa (11/10) malam.
Ia melanjutkan, LNG impor sebetulnya bisa efektif menurunkan harga gas jika sumbernya juga murah. Pasalnya, menurut Wiratmaja, harga gas di kepala sumur luar negeri pun sama saja, yaitu US$4,5 per MMBTU.
Namun, ia belum bisa berkomentar lebih banyak ihwal keinginan atasannya membuka keran impor LNG.
Terkait harga gas industri yang tinggi, sebenarnya mantan Menteri ESDM Sudirman Said sudah mengambil langkah berani dengan menertibkan perusahaan penjual gas yang tidak memiliki infrastruktur pipa distribusi.
Melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2015, Sudirman menitahkan alokasi gas hanya bisa diberikan kepada pemegang izin usaha niaga gas pemilik pipa, atau yang berkomitmen kuat membangun pipa tersebut.
Namun entah mengapa, Peraturan itu diubah sendiri oleh Sudirman dengan menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 tahun 2016 yang memberi dispensasi pembangunan pipa selama 2 tahun bagi para pedagang gas.
Masa transisi. Demikian Sudirman menjelaskan alasan kebijakan lanjutan yang ditelurkannya ketika itu. Padahal jika konsisten menghilangkan alokasi gas bagi perusahaan pedagang yang tidak memiliki pipa, banyak pihak meyakini harga gas industri bisa dikunci di angka mini karena tidak ada lagi komponen margin bagi pedagang yang harus dibayar pembeli.
(gen)