Jakarta, CNN Indonesia -- Achmad Safiun, Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi meminta pemerintah menepati janjinya bakal memangkas harga gas mulai bulan depan. Pasalnya, harga gas domestik yang lebih mahal dari harga gas internasional belum pernah diturunkan harganya oleh penjual sejak awal 2015.
"Harga gas sekarang antara US$8,2-US$12,8 per MMBTU. Padahal harga di pasar global hanya sekitar US$3-US$7 per MMBTU," ujar Achmad Safiun, Senin (10/10).
Menurutnya, harga gas mahal yang harus dibayarkan industri disebabkan inefisiensi di sektor hulu hingga hilir. Tingginya harga gas juga dipengaruhi oleh adanya pemburu rente yang terlibat dalam rantai distribusi pasokan gas di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di hulu sebenarnya kalau harga belum cocok tidak perlu dikontrakkan. Harga gas mahal juga karena pemerintah sangat lamban memutuskan karena perizinan terlalu panjang dan bertele-tele," ungkap Safiun.
Harga Wajar
Dia menegaskan harga gas seharusnya konsisten. Pelaku usaha juga siap mengikuti harga pasar, asalkan penetapan harganya wajar.
"Tidak masalah, kami kan juga sudah biasa misalnya harga BBM non-premium di pompa bensin," kata dia.
Satya W Yudha, Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengatakan, harga gas domestik tidak bisa diukur dengan harga minyak dunia secara langsung. Pasalnya, formula harga gas domestik diukur dari tingkat kesulitan lapangan. Berbeda dengan harga gas ekspor yang memang formula harganya mengikuti indeks harga minyak dunia.
"Kalau sekarang formula harga gas berdasarkan kondisi tingkat kesulitan lapangan, yang harus diubah itu term yang ada dalam kontraknya," kata dia.
Menurut Satya, setiap lapangan mempunyai tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Hal itu menunjukkan tingkat keekonomian sebuah lapangan. Kemudian baru muncul harga gas.
“Maka kenapa dalam satu lapangan itu bisa mempunyai harga gas yang berbeda–beda, walaupun dalam satu lapangan. Satu lapangan itu bisa dua
production sharing contract (PSC) atau satu PSC karena mereka tergantung dari bagi hasilnya," kata dia.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini mengkaji mekanisme
hybrid dalam penetapan harga gas yang mengikuti pergerakan harga minyak dunia. Jika simulasi yang dilakukan berhasil, Indonesia akan meninggalkan rezim penetapan harga gas tetap atau
fixed dalam eskalasi tahunan.
"Skenario
hybrid adalah salah satu cara yang sedang dibahas bersama seluruh
stakeholder, termasuk badan usaha di sektor hulu,
midstream, seperti
trader, agar semuanya sejalan dan efektif dalam penyalurannya sehingga memiliki margin yang wajar," kata Agus Cahyono Adi, Direktur Pembinaan Program Minyak dan Gas Kementerian ESDM, pekan lalu.
Menurut Agus, dengan mekanisme
hybrid diharapkan bisa melindungi seluruh pihak, baik pembeli atau kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) karena ada batasan dan perhitungan yang jelas terkait hubungannya dengan fluktuasi harga minyak dunia.
“Jika langsung seperti LNG, pada saat harga di atas US$100 per barel, gasnya nanti bisa US$ 17 per MMBTU, US$ 18 per MMBTU. Dengan
hybrid, ini kan jadi separuhnya hanya US$ 10 per MMBTU. Simulasi kita begitu,” tandas Agus.
Satya menambahkan, yang harus dibenahi sebenarnya adalah kontrak bagi hasil. Karena pada dasarnya tidak ada KKKS yang mau mengembangkan lapangan jika harganya tidak sesuai dengan keekonomian. Untuk itu harus ada jalan tengah antara KKKS dan pemerintah.
"Mungkin term-nya tidak bisa lagi 85:15, mungkin 60:40 atau bahkan negara bisa lebih kecil dari kontraktor 40:60 tergantung dari kesulitan lapangan," kata dia.
Satya mengatakan untuk memperoleh harga gas rendah juga harus dilihat dari sisi bagi hasil. Bisa saja pendapatan negara berkurang tapi industri jalan karena itu gas kita ingin jadi penggerak ekonomi.
"Tetapi harus dilihat lagi ada faktor yang tidak sederhana. Dari hilir ada
toll fee ada
trader yang tidak punya infrastruktur tapi bisa tentukan harga. Itu kan juga jadi faktor," tandas Satya.
(gen)