Laju Emiten Farmasi Didorong Penjualan Non-Obat

Dinda Audriene | CNN Indonesia
Rabu, 02 Nov 2016 12:17 WIB
Kalbe Farma, Kimia Farma dan Sido Muncul mampu mempertahankan kinerja positif karena penjualan produk non-obat seperti vitamin dan suplemen.
Kalbe Farma, Kimia Farma dan Sido Muncul mampu mempertahankan kinerja positif karena penjualan produk non-obat seperti vitamin dan suplemen. (Pixabay/PublicDomainPictures)
Jakarta, CNN Indonesia -- Rata-rata kinerja emiten sektor farmasi dapat dikatakan masih cukup baik, meski masih ada emiten yang mencatat rugi bersih dan penurunan laba bersih. Namun, kondisi tersebut hanya terjadi pada dua dari lima emiten farmasi terbesar.

PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) menjadi emiten yang mencatatkan pertumbuhan keuntungan paling tinggi hingga 14,09 persen. Laba perusahaan pada kuartal III 2016 tercatat Rp1,7 triliun, lebih tinggi jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya Rp1,49 triliun. Sementara, pendapatan perusahaan tumbuh 9,52 persen dari Rp13,12 triliun menjadi Rp14,37 triliun.

Kemudian, disusul oleh PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO) yang membukukan pertumbuhan laba bersih sebesar 7,94 persen menjadi Rp351,92 miliar dari sebelumnya Rp326,03 miliar. Namun, pendapatan perusahaan tumbuh mencapai 14,54 persen dari Rp1,65 triliun menjadi Rp1,89 triliun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terakhir, PT Kimia Farma Tbk (KAEF) membukukan laba bersih sebesar Rp173,82 miliar, naik 6,25 persen dari sebelumnya Rp163,58 miliar. Sementara, pendapatan perusahaan tercatat Rp3,96 triliun. Perolehan tersebut naik 14,12 persen dari sebelumnya Rp3,47 triliun.

Berbeda dengan tiga emiten yang membukukan kinerja cemerlang pada kuartal III ini, laba PT Tempo Scan Pacific Tbk (TSPC) tercatat turun 11,71 persen dari Rp519,51 miliar menjadi Rp458,66 miliar. Namun, untuk pendapatan sebenarnya masih tercatat positif dengan tumbuh 13,14 persen menjadi Rp6,8 triliun dari Rp6,01 triliun. Sayangnya, pertumbuhan pendapatan tersebut tak mampu mendongkrak laba bersih perusahaan.

Sementara itu, PT Indofarma (Persero) Tbk (INAF) masih mengalami rugi bersih sebesar Rp30,4 miliar. Namun, angka tersebut sebenarnya turun 4,91 persen dari rugi bersih pada periode yang sama tahun sebelumnya Rp31,97 miliar. Hal ini didorong oleh peningkatan penjualan sepanjang sembilan pertama sebesar 868,62 miliar, naik 9,2 persen dari Rp795,42 miliar.

Tak Mengandalkan Penjualan Obat

Menurut Kepala Riset MNC Securities Edwin Sebayang, pertumbuhan yang terjadi pada Kalbe Farma memang terbilang wajar disebabkan bisnis perusahaan yang tak hanya mengandalkan penjualan obat semata. Misalnya saja, Kalbe Farma juga menjual makanan sehat bagi ibu dan anak. Sehingga, pendapatan perusahaan tidak terpatok pada penjualan obat.

“Kalbe Farma masih menjadi nomor satu itu karena dia enggak hanya fokus pada penjualan obat-obatan, jualannya macem-macem, jadi pendapatannya terbantu oleh divisi lain. Sumber pendapatan itu menjadi kelebihan dari Kalbe Farma,” ungkap Edwin, Rabu (2/11).

Sementara, menurut analis Daewoo Securities Dang Maulida, pertumbuhan kinerja Kalbe Farma terbilang masih sesuai dengan ekspektasi. Sehingga, ia optimis Kalbe Farma akan mencapai pertumbuhan laba bersih hingga 12 persen hingga akhir tahun 2016 ini.

“Kami percaya laba bersih Kalbe Farma hingga penutup tahun 2016 dapat mencapai estimasi kami Rp2,2 triliun atau tumbuh 12 persen dari tahun lalu, dan pendapatan mencapai Rp19,4 triliun atau naik sembilan persen dari tahun lalu,” terang Dang dalam risetnya.

Adapun, pertumbuhan Kimia Farma dan Sido Muncul juga bisa dibilang menarik karena bisnisnya yang tak hanya mengandalkan obat saja. Kimia Farma sendiri juga membangun klinik di daerah pinggiran untuk menambah pemasukan perusahaan. Sementara, Sido Muncul memiliki produk vitamin atau obat herbal. Selain itu, penjualannya tak hanya di dalam negeri tapi juga sampai ke luar negeri.

“Kimia Farma juga cari alternatif pendapatan dengan membuka klinik, jadi obat yang mereka jual dipasarkan juga di klinik yang dibangun. Jadi ikut membantu. Begitu juga Sido Muncul, penjualannya merambah ke luar negeri, banyak penjualan lisensi di luar negeri yang dibuka sama Sido Muncul,” jelas Edwin.

Anomali Indofarma

Namun, untuk Indofarma, Edwin menilai kerugian terjadi karena perusahaan pelat merah tersebut tak mampu memangkas beban operasionalnya. Sehingga, pendapatan yang mengalami kenaikan pada kuartal III ini tak cukup untuk menggenjot laba bersih perusahaan.

“Jadi Indofarma ini masih kurang efisiensi,” imbuh Edwin.

Selain itu, Indofarma juga tak memiliki alternatif pendapatan lain selain dari obat. Artinya, perusahaan tersebut hanya bertumpu pada penjualan obat semata. Dengan demikian, kinerja perusahaan ini kalah dengan perusahaan farmasi lainnya.

Namun anehnya, lanjut Edwin, harga saham Indofarma pada perdagangan kemarin melonjak tajam. Di mana sejak awal tahun hingga kemarin naik 1.745 persen ke level Rp3.100 per lembar. Sementara, pada perdagangan hari ini saham Indofarma dibuka pada harga Rp3.100.

“Harga sahamnya tidak seiring dengan kinerja fundamentalnya, tapi harga saham luar biasa naiknya. Ini perlu ditelusuri, pihak-pihak mana yang mengangkat saham tersebut. Pihak Bursa Efek Indonesia (BEI) perlu menyelidiki. Pihak mana yang mengangkat, yang memainkan. Ini membuat valuasi saham INAF sangat mahal,” papar Edwin.

Secara keseluruhan, ia menilai kinerja emiten farmasi akan menarik selama emiten tersebut juga mengembangkan bisnis lain diluar obat, seperti yang dilakukan Kalbe Farma, Sido Muncul, dan Kimia Farma. Hingga akhir tahun, ia memprediksi kinerja emiten farmasi secara rata-rata paling tidak dapat tumbuh 10 persen.

“Pertumbuhan paling maksimal sepertinya 10 persen ya secara rata-rata,” pungkas Edwin. (gir/ags)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER