Subsidi Listrik Dicabut, Inflasi Diprediksi Mendaki 0,95%

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Jumat, 18 Nov 2016 17:10 WIB
Hal ini dikarenakan kontribusi konsumsi listrik terhadap inflasi nasional cukup besar, yakni mencapai 0,85 persen pada tahun lalu.
Rencana pemerintah menghapus subsidi listrik bagi 18,94 juta pengguna listrik berdaya 900 volt diperkirakan mengerek inflasi 0,95 persen di tahun depan. Hal ini dikarenakan konsumsi listrik berkontribusi besar terhadap inflasi. (CNN Indonesia/Fajrian).
Jakarta, CNN Indonesia -- Rencana pemerintah menghapus subsidi listrik bagi 18,94 juta pengguna listrik berdaya 900 volt diperkirakan mengerek inflasi 0,95 persen di tahun depan. Hal ini dikarenakan konsumsi listrik berkontribusi besar terhadap inflasi.

Sekadar informasi, inflasi kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar tercatat sebesar 3,34 persen di tahun 2015, di mana angka itu memberi andil 0,85 persen terhadap inflasi nasional.

Direktur Eksekutif Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Juda Agung bilang, inflasi ini dihitung berdasarkan bobot pengeluaran ketenagalistrikan di dalam Indeks Harga Konsumen (IHK). Dalam mengkalkulasi perhitungan ini, ia menggunakan asumsi bobot IHK sebesar 3,41 persen di bulan Oktober 2016.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami melihat andilnya terhadap inflasi sebesar 0,95. Namun, selama ini, kami melihat batasnya masih aman, meski sudah mendekati batas atas," ujarnya, Jumat (18/11).

Meski andilnya cukup besar terhadap inflasi nasional, lanjut Juda, kontribusi listrik yang diperkirakan naik tahun depan tetap bisa menggiring inflasi tahun sesuai target bank sentral, yaitu 4 persen (plus dan minus satu persen).

BI sendiri tetap mengamati kebijakan yang terkait pengaturan harga-harga yang diatur pemerintah (administered prices) lainnya. Soalnya, besaran inflasi tentu akan bertambah jika pemerintah menaikkan golongan administered prices tersebut.

Salah satu kondisi yang dicermati BI adalah kepastian pencabutan subsidi bagi sebagian pengguna golongan 450 VA. Jika memang pencabutan subsidi dianggarkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Penyesuaian (APBNP) 2017, maka akan ada tambahan kontribusi inflasi tahunan sebesar 0,31 persen.

"Risiko lainnya adalah kami dapat informasi bahwa kesepakatan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kan ada pengurangan subsidi bagi golongan 450 VA. Kalau itu terjadi, maka akan ada andil bagi inflasi, sehingga kami menunggu kepastian dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait hal ini," terangnya.

Bank sentral juga mencermati dampak pengurangan subsidi bagi Liquefied Petroleum Gas (LPG/Elpiji) 3 kilogram melalui skema distribusi tertutup. Jika ini dilakukan, maka akan ada 31,3 juta Kepala Keluarga (KK) yang tak bisa menggunakan tabung elpiji melon mulai tahun depan.

Akibatnya, konsumen terancam beralih ke produk elpiji non-subsidi yang harganya tentu lebih mahal. Sehingga, distribusi elpiji tertutup juga bisa menyumbang inflasi 0,31 persen terhadap inflasi tahunan.

Jika semua pencabutan subsidi energi ini diterapkan, maka inflasi tahun depan bisa melenceng dari target dan melebihi angka 5 persen. "Melihat risiko ini, saran kami, lebih baik pemerintah menerapkan pencabutan subsidi bertahap demi meminimalisasi dampak inflasi," imbuh Juda.

Menjaga laju inflasi, ia menilai, sangat penting di tengah ambisi pemerintah untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tahun depan sebesar 5-5,4 persen. Alasannya, daya beli masyarakat akan terganggu kalau inflasi meningkat. Padahal, daya beli diprediksi masih menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi tahun depan.

Kondisi itu bisa terjadi, mengingat belanja pemerintah diperkirakan tertahan akibat pemangkasan anggaran. Sehingga, sumbangsih pengeluaran pemerintah (government expenditure) bagi pertumbuhan ekonomi juga diprediksi lebih rendah dibanding tahun ini.

Sementara itu, ekspor netto juga diramal tidak bisa berkontribusi signifikan karena harga beberapa komoditas masih belum menunjukkan perbaikan dan kebijakan perdagangan Amerika Serikat di bawah presiden baru, Donald Trump, yang terkesan proteksionis.

"Kalau dilihat, tahun ini pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen. Memang lebih baik dibanding tahun kemarin, tapi ekonomi global masih belum terlalu pulih. Sehingga, permintaan domestik masih menjadi unggulan di tahun depan," tutur dia.

Sebagai informasi, inflasi tahunan pada tahun 2015 tercatat sebesar 3,35 persen. Angka ini lebih kecil dibandingkan angka tahun 2014 sebesar 8,36 persen. (bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER