Jakarta, CNN Indonesia -- PT Bank Permata Tbk masih harus bekerja keras untuk memperbaiki kinerjanya tahun ini. Pasalnya rasio kredit bermasalah (NPL) gross anak usaha grup Astra tersebut tergolong tinggi yakni mencapai 4,9 persen atau nyaris mendekati batas maksimal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebesar 5 persen.
Direktur Utama Bank Permata Roy Arfandy mengatakan perseroan akan terus melanjutkan strateginya untuk menghadapi tekanan ekonomi makro yang sangat berdampak pada kinerja perusahaan. Salah satunya melalui peningkatan pencadangan.
Dengan kredit bermasalah yang tinggi tersebut, Bank Permata harus rela menyisihkan pencadangan senilai Rp4,52 triliun hingga September kemarin. Angka tersebut melonjak drastis dibanding periode yang sama tahun lalu yang hanya mencapai Rp1,6 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akibat pencadangan yang membengkak itu, Bank Permata harus menelan rugi Rp1,2 triliun hingga kuartal III lalu, setelah tahun lalu sempat menikmati laba Rp938 miliar,
“Kami lihat NPL meningkat, jadi kami menambah pencadangan dari tahun-tahun sebelumnya. Ini yang menggerus
profit tahun ini, karena kami mengantisipasi dari pemburukan kualitas kredit yang ada," ujar Roy dalam paparan publik, Rabu (23/11).
Jika tanpa pencadangan, sebenarnya pada kuartal III lalu perseroan berhasil mencatatkan pertumbuhan laba operasional sebesar Rp2,9 triliun naik 4 persen dibanding periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp2,8 triliun.
Kenaikkan pendapatan tersebut didorong oleh pertumbuhan pendapatan non bunga sebesar 21 persen (yoy) berkat kinerja
global markets,
bancassurance, dan
wealth management.
Dari segi pendanaan, Bank Permata membukukan
Loan to Deposit Ratio (LDR) sebesar 80 persen pada akhir September lalu, yang mencerminkan kondisi likuiditas bank tetap terjaga. Ekuitas perseroan juga meningkat 32 persen akibat adanya setoran modal tambahan Rp5,5 triliun dari aksi
rights issue Juni lalu.