Pemulihan Investasi Migas Tahun Depan Butuh Insentif Pajak

CNN Indonesia
Rabu, 07 Des 2016 17:11 WIB
Insentif fiskal menjadi satu-satunya tumpuan perbaikan investasi hulu migas mengingat saat ini harga minyak dunia masih belum menunjukkan perbaikan.
Insentif fiskal menjadi satu-satunya tumpuan perbaikan investasi hulu migas mengingat saat ini harga minyak dunia masih belum menunjukkan perbaikan. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesian Petroleum Association (IPA) meminta pemerintah segera memperbaiki paket regulasi terkait sektor minyak dan gas bumi (migas) untuk membuat investasi hulu menjadi menarik, di tengah merosotnya harga minyak.

Presiden IPA Christina Verchere menjelaskan, insentif fiskal menjadi satu-satunya tumpuan perbaikan investasi hulu migas mengingat saat ini harga minyak dunia masih belum menunjukkan perbaikan. Pasalnya, jika harga minyak menurun, maka prospek investasi hulu migas melemah karena keekonomian sebuah lapangan juga ikut melemah.

"Sebenarnya, ada dua hal yang mendukung investasi migas. Yang pertama adalah nilai keekonomiannya bisa diprediksi secara tepat dan fiscal regime yang menarik," ujar Verchere, Rabu (6/12).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perbaikan sedikit dari sisi fiskal, lanjut Verchere, akan sangat diapresiasi usaha hulu migas mengingat investasi hulu migas memerlukan banyak uang. Maka dari itu, ia berharap pemerintah tidak terus menerus mengubah kebijakan fiskalnya karena akan menimbulkan keraguan di kalangan investor.

"Kalau fiscal regime berubah terus, maka akan ada concern dari investor. Padahal di tengah penurunan harga minyak, kini masing-masing negara berlomba menawarkan fiscal terms yang menarik. Kalau Indonesia tak melakukan perbaikan, maka investor akan mengalihkan perhatiannya dari Indonesia," jelasnya.

Di samping itu, ia berharap tarik-ulur kepentingan antar instansi pemerintah bisa dikurangi untuk menciptakan iklim investasi yang tenang. Ia mencontohkan, saat ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menginginkan iklim investasi migas yang baik. Namun di sisi lain, ada Kementerian Keuangan yang tak ingin penerimaannya terganggu gara-gara kebijakan yang pro-investasi.

"Kami memahami bahwa negara juga menggantungkan asa dari penerimaan migas. Namun, apakah Indonesia masih ingin sektor energi sebagai sumber penerimaan atau menjadi penggerak efek berganda perekonomian (multiplier effect)? Jika memang ingin sektor energi menggerakkan ekonomi, maka harus ada fiscal regime yang mumpuni," tambah Verchere.

"Tapi, kami sadar bahwa di dalam membuat kebijakan, banyak stakeholder yang terlibat dan semuanya memiliki tujuan berbeda," imbuhnya.

Lebih lanjut, wanita yang juga menjabat sebagai Regional President Asia Pacific BP ini enggan menyebut secara rinci terkait kebijakan perpajakan yang ideal bagi Indonesia. Menurutnya, hal ini harus dibandingkan dengan negara lain yang kondisi lapangan migasnya mirip dengan Indonesia.

Namun, ia mengapresiasi perubahan kebijakan pajak yang dilakukan pemerintah terkait insentif eksplorasi dengan mengubah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010. Di samping itu, ia juga menunggu kelanjutan dari skema perjanjian bagi hasil produksi (Production Sharing Contract/PSC) baru yang rencananya berbentuk Gross Split.

"Banyak dampak negatif apabila PSC menggunakan sistem cost recovery, sehingga skema gross split ini bisa menyederhanakan itu semua. Tapi, terlalu dini bagi kami untuk menyimpulkan apakah itu baik atau tidak karena gross split ini baru dibicarakan kemarin," pungkas Verchere.

Menurut data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), investasi hulu migas secara year-to-date hingga November 2016 tercatat sebesar US$10,42 miliar. Hingga akhir tahun nanti, investasi hulu migas diperkirakan akan meningkat menjadi US$12,02 miliar.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER