Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan memberikan denda tinggi bagi pengembang listrik swasta (
Independent Power Producer/IPP) jika tak menjalankan kewajibannya menyalurkan listrik sesuai kontrak. Rencananya, wacana ini akan dimasukkan ke dalam peraturan terkait pokok-pokok Perjanjian Jual Beli Listrik (
Power Purchase Agreement/PPA), yang diharapkan rampung bulan ini.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan, peraturan ini dibuat karena ada ketidakadilan kewajiban antara PT PLN (Persero) dan IPP di sektor ketenaglistrikan. Menurutnya, selama ini PLN selalu dikenakan denda (
take or pay) jika listrik yang diproduksi IPP tidak mampu diserap PLN karena transmisinya belum siap. Namun sebaliknya, tidak ada sanksi tegas bagi IPP yang tidak bisa menjalankan kewajibannya dalam menyalurkan listrik ke PLN.
“Untuk PPA ke depan, kami akan bangun sistem yang
fair. Bukan hanya PLN dikenakan
take or pay tapi IPP juga dikenakan
delivery or pay. Jadi kalau pembangkit rusak, PLN harus kasih denda ke IPP. Tapi jangan denda kuaci, harus dikasih denda sampai mereka (IPP) tobat,” jelas Jonan, Rabu (8/12)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut ia menjelaskan, kebijakan
delivery or pay ini bukan dibuat untuk menakut-nakuti IPP. Peraturan ini, lanjutnya, dibuat sebagai jaminan bahwa keandalan sistem ketenagalistrikan tetap terjaga di sebuah wilayah.
Ia memberi contoh sistem ketenagalistrikan di pulau Sumatera yang harus memiliki cadangan daya (
reserve margin) minimal 60 persen dari beban puncak, gara-gara keandalan sistem keetenagalistrikannya sangat rendah. Ia sangat menyayangkan kondisi ini mengingat standar umum terkait
reserve margin harusnya 30 persen dari beban puncak.
“Namun sampai saat ini kami masih mencari formula yang tepat untuk memberi denda kepada para IPP ini. Makanya saya bilang, IPP perlu didenda sampai tobat,” jelasnya
Sementara itu, Direktur Utama PLN, Sofyan Basyir menyambut baik wacana kebijakan ini. Ia mengatakan, selama ini IPP memang dikenakan denda jika tak menyalurkan listriknya secara tepat waktu. Namun menurutnya, denda ini terbilang sangat kecil sekali.
“Padahal sesungguhnya, ketika IPP tidak melaksanakan tugasnya, kami harus mengeluarkan banyak biaya agar elektrifikasi tetap jalan. Contohnya mengganti dengan tenaga gas, mengganti dengan diesel hanya untuk menutup listrik yang tidak mereka salurkan. Tapi IPP tenang-tenang saja karena dendanya sangat kecil,” jelasnya.
Untuk itu, ia mengatakan bahwa denda
delivery or pay yang dibayar IPP harus lebih besar dibanding
take or pay yang dibayar PLN. Nilai denda yang ideal, lanjut Sofyan, tentu saja harus bisa mengganti komponen-komponen biaya yang dikeluarkan PLN akibat terganggunya pembangkit milik IPP.
“Denda IPP harus lebih besar, di mana mereka harus mengganti seluruh komponen
cost yang dibayar karena adanya keterlambatan (penyaluran listrik),” pungkasnya.
(gen)