Jakarta, CNN Indonesia -- Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) menjelaskan bahwa saat ini terlalu banyak disinsentif di dalam investasi hulu migas di Indonesia. Hal itu, membuat investor menjadi bimbang untuk masuk serta menanamkan modalnya.
Di sisi lain, peringkat daya tarik investasi hulu migas Indonesia pun disebut terus mengalami penurunan antarperiodenya.
Kepala Hubungan Masyarakat SKK Migas, Taslim Yunus mengutip data Fraser Institute tahun lalu yang menyebut bahwa peringkat daya tarik investasi hulu migas Indonesia hanya berada di ranking 113 dari 126 negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan kata lain, Indonesia terperangkap ke dalam 20 peringkat terbawah, dan hanya satu tingkat di atas Timor Leste.
Menurut Taslim, data tersebut sangat kontras dibandingkan dekade 1980 hingga 1990 lalu, ketika Indonesia selalu menjadi 10 besar negara dengan daya tarik investasi migas terbaik di dunia.
Bahkan, kata dia, Indonesia telah memulai pengembangan proyek laut dalam atau
deepwater development pada 1998.
"Tahun 1980 hingga 1990 akhir, Indonesia selalu jadi top 10 tujuan investasi minyak dunia. Pasalnya, pada tahun 1990-an sektor migas kita sudah ditemukan cadangan besar di blok Masela dan pengeboran eksplorasi di blok Cepu. Sekarang, peringkat kita hanya di atas Timor Timur," ujar Taslim dalam sebuah diskusi di Jakarta Pusat, Sabtu (10/12).
Taslim menyebut ada dua faktor yang membuat perusahaan migas semakin bimbang untuk berinvestasi di Indonesia.
Faktor pertama adalah kondisi geologi Indonesia yang tidak lagi menyimpan cadangan-cadangan besar, yang diikuti dengan kegagalan beberapa eksplorasi migas. Taslim menyebut faktor tersebut membuat banyak investor mencari lokasi baru untuk berinvestasi.
"Cadangan ini kan ibaratnya ada gula ada semut. Mereka akan datang jika ada penemuan yang menarik," ujar Taslim.
Faktor kedua, lanjutnya, adalah paket regulasi dan kesepakatan terkait sektor minyak dan gas di Indonesia. Taslim menyatakan, saat ini terlalu banyak peraturan pemerintah yang malah menyebabkan disinsentif bagi sektor hulu migas.
"Memang, kalau kondisi geologi tidak bagus, Indonesia bisa mengubah
fiscal regime dengan menarik. Karena secara geologis tidak menarik, maka Indonesia jangan jual mahal dalam menawarkan investasinya," jelas Taslim.
Jenis Peraturan
Melengkapi ucapan Taslim, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menyebut berbagai jenis peraturan yang menjadi disinsentif bagi investor.
Salah satunya adalah sistem bagi hasil produksi migas yang tidak fleksibel dengan kondisi eksternal saat ini, khususnya fluktuasi harga minyak dunia. Padahal, tingkat keekonomian proyek migas sangat bergantung dengan pergerakan harga minyak.
Sebagai informasi, saat ini bagian produksi minyak pemerintah tercatat sebesar 85 persen sesuai kontrak bagi hasil produksi atau
Production Sharing Contract (PSC). Bagi hasil ini dipatok tetap sepanjang tahun tanpa dipengaruhi asumsi eksternal apapun.
"Tapi di sisi lain, kita juga perlu produksi migas untuk menjaga Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sedangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sangat terbatas, mau
nutup defisitnya saja bingung," ujar Komaidi.
Beban Cost Recovery
Komaidi juga mengatakan pelaku usaha sangat terbebani dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010 yang mengatur
cost recovery.Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa biaya eksplorasi ditanggung sepenuhnya oleh investor dan akan diganti pemerintah melalui
cost recovery jika eksplorasi berhasil. Tapi jika cadangan tak ditemukan, maka pemerintah tidak mau mengganti biaya-biaya tersebut.
"Kalau seperti ini apa investor semakin tidak malas berinvestasi? Apakah benar, investor bisa ditarik pungutan pajak dan beban-beban lain di saat eksplorasi? Padahal produksinya saja belum keluar," kata dia.
Komaidi berharap pemerintah mau mencontoh skema bisnis migas di negara-negara lain untuk meningkatkan daya tarik investasi.
(asa)