Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Keuangan (Kemkeu) mengatakan tak akan lagi menggantungkan asa dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) minyak dan gas (migas) di tahun-tahun mendatang.
Kondisi tersebut sudah mulai terlihat pada target PNBP migas tahun depan yang dipatok Rp63,7 triliun, atau menurun 7,25 persen dibandingkan target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Penyesuaian (APBNP) 2016 sebesar Rp68,68 triliun.
Direktur Jenderal Anggaran Kemkeu Askolani menjelaskan, turunnya kontribusi PNBP migas disebabkan karena penjualan minyak siap jual (
lifting) yang semakin merosot. Dengan volume yang lebih sedikit, lanjut Askolani, maka pendapatan yang dihasilkan juga akan menurun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut ia menjelaskan,
lifting migas yang menurun disebabkan oleh produksi migas yang semakin melandai (
declining) serta belum ditemukannya cadangan migas yang signifikan. Jika kondisi ini tidak berubah, ia memprediksi
lifting minyak di tahun 2019 hanya sebesar 600 ribu barel per hari, atau lebih kecil 26,82 persen dibandingkan target
lifting di APBNP 2016 sebesar 820 ribu barel per hari.
“Hasilnya, saat ini PNBP sumber daya alam mungkin hanya berkontribusi 15 persen dari total pendapatan negara. Padahal dulu jaman
oil boom, lifting Indonesia bisa mencapai 1,3 juta barel per hari, dan kontribusi PNBP bisa mencapai 20 hingga 30 persen dari pendapatan negara. Jika cadangan baru tidak segera ditemukan, kami meramal kontribusi PNBP migas tidak bisa berkontribusi banyak lagi,” ujar Askolani di Sentul, Sabtu (26/11).
Selain masalah
lifting, Askolani menyebut naik-turunnya harga minyak juga bisa mempengaruhi PNBP migas di kemudian hari. Menurutnya, tak heran jika saat ini PNBP migas sangat minim, mengingat harga minyak berada di kisaran US$40 per barel hingga US$50 per barel pada saat ini.
Ia meramal, harga minyak mungkin akan memantul ke angka US$70 per barel hingga US$80 per barel dalam dua hingga tiga tahun mendatang. Kendati demikian, tingkatan harga tersebut diprediksi tidak bisa mengerek PNBP lebih signifikan lagi.
“Dulu ketika harga minyak di atas US$100 per barel dengan angka
lifting yang lebih besar, PNBP migas bisa mencapai Rp200 triliun. Bisa dibilang, dalam 10 tahun PNBP migas telah berkurang sebesar 150 persen. Ke depan, mungkin harga minyak akan kembali meningkat, namun tidak akan kembali ke level seperti dulu,” jelasnya.
Akibat hal tersebut, pemerintah menganggap penerimaan pajak sebagai satu-satunya harapan dalam mengisi pundi-pundi keuangan negara. Sehingga, kebijakan fiskal nantinya bertumpu pada penguatan basis pajak agar penerimaan pajak tidak gampang naik-turun.
“Selain itu, kami juga meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mempermudah perizinan dan melonggarkan insentif eksplorasi migas agar cadangan-cadangan migas baru bisa ditemukan. Jika cadangan sudah ditemukan, maka ada harapan produksi migas di kemudian hari juga bisa bertambah,” pungkas Askolani.
Menurut data Kementerian Keuangan, realisasi PNBP Sumber Daya Alam (SDA) hingga Oktober 2016 tercatat sebesar Rp205 triliun. Capaian ini terbilang 76,2 persen terhadap target APBNP 2016 sebesar Rp269,1 triliun.
(rel)