Jakarta, CNN Indonesia --
Aksi teror World Trade Centre di Amerika Serikat, 15 tahun silam, membuat pelaku usaha asuransi di dunia mengecualikan risiko terorisme dan sabotase dalam proteksi harta benda. Perusahaan asuransi kerugian di Indonesia juga ikut menerapkan hal serupa.
Namun, setelah 15 tahun menawarkan produk asuransi terorisme dan sabotase, perkembangan bisnis ini suam-suam kuku. Mengapa?
Robby Loho, Ketua Dewan Pengurus Konsorsium Asuransi Terorisme dan Sabotase menerangkan, tidak seperti produk asuransi kerugian pada umumnya, produk asuransi terorisme dan sabotase adalah produk asuransi dengan risiko khusus.
Sederhananya, produk ini tidak bisa berdiri sendiri, melainkan menjadi sampingan dari produk-produk utama di lini asuransi kerugian, seperti asuransi harta benda yang ditambah dengan risiko khusus terorisme dan sabotase. Risiko husus ini juga bisa menempel dengan asuransi kendaraan bermotor.
Misalnya, apabila sebuah gedung perkantoran atau perbelanjaan terdampak serangan teror yang mengakibatkan kerusakan, maka perusahaan asuransi tidak akan menanggung klaimnya. Lain soal kalau gedung atau pusat perbelanjaan tersebut diasuransikan dengan asuransi terorisme dan sabotase dalam asuransi harta bendanya.
Karena sifatnya yang tidak umum itulah, pamor asuransi terorisme dan sabotase kurang terdengar. Padahal, melihat kondisi akhir-akhir ini, bukan cuma gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, dan pertokokan saja yang menjadi sasaran teror, tetapi juga perumahan penduduk.
“Produk asuransi terorisme dan sabotase menjamin kerusakan pada harta benda yang dikarenakan risiko terorisme, sabotase, makar dan pencegahan sehubungan dengan risiko-risiko tersebut. Produk ini menjamin apa yang tidak dijamin oleh risiko lain,” ujar Robby, Kamis (22/12).
Namun, meski ramai ancaman teror, belum banyak masyarakat yang memanfaatkan perlindungan ini. Arizal E R, Ketua Komite Teknik Konsorsium Asuransi Terorisme dan Sabotase mengatakan, ada dua faktor utama yang menghambat perkembangan bisnis tersebut.
Pertama, kapasitas pertanggungan asuransi terorisme dan sabotase masih mini. Melalui konsorsium yang beranggotakan 52 perusahaan asuransi kerugian dan empat perusahaan reasuransi saja, kapasitas yang mampu ditampung untuk satu kali kejadian cuma US$10,8 juta atau setara Rp140,81 miliar.
Arizal menyebutkan, kapasitas pertanggungan asuransi Rp140,81 miliar itu setara dengan satu gedung hotel kelas skala medium. Bahkan, pertanggungan untuk gedung hotel bintang lima saja diperkirakan mencapai US$50 juta.
“Kapasitas pertanggungan asuransi konsorsium kecil karena memang seluruh anggota tanggung renteng melalui penyertaan saham sesuai kemampuan masing-masing. Kami tidak bisa memaksa, kami cuma membatasi penyertaan saham minimum US$25 ribu atau Rp325 juta per anggota,” jelasnya.
Kedua, sambung Arizal, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator belum mewajibkan optimalisasi penempatan kapasitas di dalam negeri untuk asuransi terorisme dan sabotase. Hal ini mengakibatkan banyak premi juga melayang ke perusahaan reasuransi luar negeri.
“Karenanya, tarif kami mungkin memang kurang bersaing. Apalagi, kami tidak memiliki pengalaman klaim. Dibandingkan dengan tarif pasar, harga kami memang di atas rata-rata. Kami mau revisi turun tarifnya, kalau bisnisnya ada. Perosalannya, bisnis tidak ada yang baru,” imbuhnya.
Makanya, Konsorsium Asuransi Terorisme dan Sabotase mengusulkan terbitnya Peraturan OJK (POJK) yang mengatur beberapa poin aturan main. Seperti, kewajiban pemenuhan kapasitas di dalam negeri, serta perluasan risiko terorisme dan sabotase dalam asuransi harta benda.
Karena persoalan kapasitas yang kecil itu, enam perusahaan asuransi kerugian yang tergabung dalam anggota AAUI enggan bergabung di dalam Konsorsium Asuransi Terorisme dan Sabotase. Mereka memilih bermain sendiri dengan dukungan dari kelompok usaha mereka yang raksasa di luar negeri.
Robby menuturkan, dari 83 anggota AAUI, cuma 56 di antaranya saja yang urun rembuk dalam konsorsium. Sekitar 21 perusahaan asuransi lain emoh menjual produk asuransi terorisme dan sabotase, dan enam lainnya memilih bermain sendiri.
“Kami imbau sih semua ikut ya untuk memperbesar kapasitas, tetapi ya kan ada perusahaan asuransi yang mau main sendiri sama grup mereka di luar negeri. Ada juga yang merasa memiliki koneksi sendiri dengan reasuransi luar negeri,” katanya.
Adapun, Arizal memproyeksi, kapasitas konsorsium tahun depan tidak akan jauh berbeda dengan tahun ini yang sebesar Rp140 miliar. Tahun lalu, kapasitas konsorsium sebesar Rp125 miliar. Kenaikan ini pun tak terlepas karena selisih kurs mata uang asing yang menguat dibanding rupiah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT