Jakarta, CNN Indonesia -- Center for Strategic and International Studies (CSIS) memprediksi pertumbuhan ekspor nasional tahun ini hanya mencapai 3,2 persen. Perkiraan ini memperhitungkan masih lemahnya permintaan sejumlah negara tujuan ekspor akibat perlambatan ekonomi, dan proteksi pasar Amerika Serikat (AS) dan Inggris.
Kepala Departemen Penelitian Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri mengungkapkan, target pertumbuhan ekspor itu pun bisa terealisasi dengan catatan tidak ada kebijakan dari negara-negara lain yang bersifat protektif, seperti yang dilakukan oleh AS dan Inggris.
"Tahun ini, Indonesia bisa meningkatkan ekspor 3,2 persen, walaupun ini di bawah dari apa yang bisa dilakukan. Seharusnya, ekspor Indonesia bisa mencapai 4-5 persen, jika tidak memasukkan perubahan kebijakan protektif. Namun, sulit untuk diproyeksikan," ujar Yose dalam konferensi pers CSIS, Rabu (11/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebetulnya, ia mengatakan, masih ada potensi pemulihan ekonomi negara-negara besar yang dikenal sebagai mitra dagang Indonesia, yaitu China, AS, dan Uni Eropa. Pemulihan tersebut diyakini bisa mendongkrak permintaan barang dan jasa dari Indonesia.
Namun, pemulihan tersebut menjadi lain cerita apabila kondisi geopolitik mengharuskan sejumlah negara mengeluarkan kebijakan yang lebih protektif terhadap pasar mereka, sehingga mampu mengurangi kerja samanya.
"Kemungkinan besar negara-negara, seperti AS, yang menjadi tujuan utama kita itu akan melakukan proteksi. Padahal, kita memperkirakan kalau kondisinya menjadi lebih baik, proteksinya meningkat, kita mungkin bisa meningkatkan beberapa persen ekspor kita ke AS," terang dia.
Sebagai informasi, per November 2016, Kementerian Perdagangan mencatat terjadinya surplus perdagangan sebesar US$ 837,8 juta atau naik 5,9 persen secara bulan. Angka tersebut tercatat meningkat 21,3 persen secara tahunan (year on year/YoY).
Kinerja ekspor Januari-November 2016 melorot 5,63 persen, namun tetap mencatatkan surplus sebesar US$ 7,79 miliar. Hal ini dikarenakan impor juga menurun sebesar 5,94 persen. Lima negara penyumbang surplus nonmigas adalah AS, India, Filipina, Belanda, dan Pakistan, dengan total surplus US$ 22,1 miliar.
Penetrasi PasarDi tengah pelemahan ekonomi negara-negara maju, pemerintah tengah berupaya untuk mencari negara tujuan dagang baru. Hanya saja, Yose mengingatkan pemerintah untuk tetap menjaga pangsa pasar di negara-negara yang selama ini menjadi mitra dagang Indonesia.
Pasalnya, sumber pertumbuhan ekonomi saat ini masih berasal dari negara-negara maju, seperti AS, Eropa dan China. "Jadi, boleh cari pasar baru, tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana pangsa pasar di negara-negara tersebut itu tidak berkurang," katanya.
Indonesia, lanjut Yose, harusnya bisa lebih meningkatkan lagi volume ekspor ke negara-negara lama. Soalnya, saat ini, transaksi ekspor ke beberapa negara tujuan justru mengalami penurunan baik dari segi volume maupun nilai.
"Contohnya adalah AS. Itu adalah destinasi terbesar kita. Dulu itu ekspor kita ke AS sekitar 1,1-1,2 persen dari seluruh impor AS. Sekarang, hanya 0,8-0,9 persen. Artinya, ada penurunan kan, ini yang lebih penting dibandingkan cari-cari pasar baru dan belum tentu pasar baru itu bisa menjanjikan," pungkasnya.