Tarif Listrik Energi Terbarukan Akan Dipatok Berbeda

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Selasa, 24 Jan 2017 09:49 WIB
Dewan Energi Nasional menyepakati bahwa penjualan listrik dari pembangkit EBT ditetapkan sebesar 85 persen dari Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik regional.
Dewan Energi Nasional menyepakati bahwa penjualan listrik dari pembangkit EBT ditetapkan sebesar 85 persen dari Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik regional. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah berencana merancang formulasi baru terkait tarif listrik yang dihasilkan dari pembangkit Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Rencananya, tarif listrik ini akan dipatok berbeda di setiap provinsinya.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) dari Unsur Pemangku Kepentingan Tumiran menjelaskan, rumusan itu muncul setelah sidang ke-20 DEN dilakukan Senin pekan ini. Menurutnya, anggota sidang menyepakati bahwa penjualan listrik dari pembangkit EBT ditetapkan sebesar 85 persen dari Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik regional.

Tumiran mengatakan, formulasi ini merupakan opsi yang terbaik. Karena jika tarif EBT ditetapkan sesuai BPP nasional, maka pengembangan pembangkit EBT di beberapa daerah tidak akan mencapai keekonomian.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam hal ini, ia memberi contoh BPP Nusa Tenggara Timur sebesar Rp2.500 per Kilowatt-Hour (KWh) yang jauh berbeda dengan BPP nasional sebesar Rp980 per KWh.

"Bagaimana sekarang, keekonomian energi baru bisa terukur. Untuk itu diberi urang, di mana harga EBT tidak sama tapi disesuaikan dengan potensi EBT agar bisa memasok ke suatu wilayah. Harga di setiap daerah dibuat tidak sama," jelas Tumiran di Kementerian ESDM, Senin (23/1).

Lebih lanjut ia menuturkan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta PT PLN (Persero) sudah menyetujui formulasi tarif ini. Namun menurutnya, ada kemungkinan tarif EBT di pulau Jawa akan sama dengan BPP listrik nasional.

"Jawa bisa diperlakukan BPP nasional. Kalau BPP regional itu lebih rendah daripada BPP Nasional maka diberlakukan berdasarkan BPP nasional," terangnya.

Melengkapi ucapan Tumiran, anggota DEN Achdiat Atmawinata menuturkan, kebijakan ini baik untuk mendorong porsi EBT di dalam bauran energi (energy mix) tahun 2025 sebesar 23 persen sesuai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Dengan sisa delapan tahun, menurutnya Indonesia harus segera melakukan percepatan.

Hingga November 2016, terdapat 5.953 Megawatt pembangkit EBT yang telah beroperasi. Angka ini mengambil porsi 11,02 persen dari kapasitas pembangkit terpasang di Indonesia sebanyak 54.015 MW.

Sementara itu, Indonesia setidaknya harus meningkatkan penggunaan listrik EBT menjadi 10.600 MW hingga akhir 2017 jika ingin target energy mix tercapai. DEN meramal, jika tak ada perbaikan kebijakan, maka realisasi listrik EBT hanya 9.100 MW di tahun 2017.

"Tahun 2025 sebentar lagi, dan tentunya suplai ini harus disinergikan dengan demand side. Dengan pengembangan EBT, kami harap industri di luar Jawa juga bisa bertumbuh," katanya. (gir)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER