PLN Baru Bisa Penuhi Target Bauran Energi Terbarukan di 2025

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Rabu, 21 Des 2016 13:55 WIB
Sepanjang 2016 terdapat 29 proyek pembangkit energi terbarukan dengan total kapasitas 734 Megawatt (MW) yang memasuki fase PPA.
Kepala Divisi Energi Baru Terbarukan PT PLN (Persero), Syah Darwin Siregar di Jakarta, Rabu (21/12). (CNN Indonesia/Galih Gumelar)
Jakarta, CNN Indonesia -- PT PLN (Persero) yakin capaian pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) di dalam bauran energi listrik di tahun 2025 sesuai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2016 hingga 2025. Hal itu terlihat dari banyaknya rencana pembangkit EBT yang telah memasuki fase Power Purchase Agreement (PPA)

Kepala Divisi Energi Baru Terbarukan PLN Syah Darwin Siregar menjelaskan, sepanjang 2016 terdapat 29 proyek pembangkit EBT dengan total kapasitas 734 Megawatt (MW) yang memasuki fase PPA. Sementara itu, terdapat pembangkit EBT baru dengan kapasitas 214 MW yang beroperasi (Commercial Operating Date/COD) sepanjang tahun ini.

Ia juga menyebut, jenis pembangkit yang telah memasuki masa PPA sebagian besar adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pengembangan EBT cukup pesat, apabila dilihat dari data yang sudah beroperasi terhitung 5.950 MW. PPA cukup banyak, proposal sudah banyak, totalnya mungkin ada 25 ribu MW. Itu yang termasuk sudah COD dan financial closing. Sehingga kami yakin porsi EBT 2025 sebesar 25 persen bisa tercapai," ujar Darwin, Selasa (21/12).

Selain itu, ia juga optimistis setelah melihat realisasi persentase pemanfaatan EBT. Menurut data yang dimilikinya per November 2016, saat ini pembangkit EBT tercatat 5.953 MW atau 11 persen dari total kapasits pembangkit nasional 54.015 MW.

Kendati demikian, berjalannya pemanfaatan pembangkit EBT ini bukan berarti tidak menemui halangan. Salah satu contoh hambatannya adalah aturan terkait harga patokan pembelian harga energi berdasarkan biaya produksi energi baru dan terbarukan (feed in tariff).

Darwin mengatakan, selama ini feed in tariff pemerintah kadang lebih tinggi dibanding Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik PLN. Maka dari itu, tak heran jika kebanyakan proyek pembangkit EBT yang berhasil menerapkan tarif pembelian listrik secara business to business (B to B)

"Makanya, sejauh ini PPA yang di tahun 2016 mengandalkan sistem B to B. Menurut kami, kesepakatan lewat sistem ini cukup mudah meski memang membutuhkan waktu lama dalam negosiasinya," ujar Darwin.

Selain masalah tarif listrik, hambatan lainnya muncul pada saat financial closing, di mana sebagian besar pengembang swasta tidak berhasil mendapatkan pinjaman. Di samping itu, terdapat pula masalah akses lahan jika ada resistensi dari warga sekitar.

"Maka dari itu, pemetaan pemanfaatan EBT ini sangat penting. Pemanfaatan energi di sebuah wilayah harus sesuai dengan potensinya, seperti Kalimantan yang punya potensi biomassa dan potensi PLTA yang besar di Papua. Jika sesuai potensi, maka pengembangannya bisa berbasis least cost dan bisa meminimalisasi hambatan yang ada," ujarnya.

Sebagai informasi, nantinya pemanfaataan EBT terbanyak pada tahun 2025 adalah PLTA dengan nilai 10 persen. Pemanfaatan terbesar kedua diikuti oleh tenaga panas bumi sebesar 8 persen dari bauran energi. (gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER