Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) fraksi Partai Gerindra Harry Poernomo mengatakan, pemerintah seharusnya tidak usah tergesa-gesa mengubah skema kontrak bagi hasil produksi (
Production Sharing Contract/PSC)
cost recovery menjadi
gross split. Ia menganggap, PSC
gross split dianggap hanya akan menimbulkan risiko buruk (
moral hazard).
Salah satu poin yang ditekankan olehnya adalah munculnya intervensi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam menetapkan bagi hasil (
split) antara pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Sebagai informasi, pasal 7 Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2016 tentang Kontrak Bagi Hasil
Gross Split menyebut bahwa Menteri memiliki diskresi untuk memberikan penambahan atau pengurangan
split dengan rentang plus minus 5 persen sesuai dengan keekonomian lapangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan adanya ketentuan ini, ia khawatir urusan bagi hasil produksi bisa rampung hanya dengan bicara empat mata saja dengan sang menteri.
"Menteri yang sebelumnya bilang akan meniadakan semua aturan yang terlalu besar. Eh, Menteri ESDM yang baru malah memperbesar peluang intervensi. Kalau seperti ini kan menimbulkan
moral hazard yang cukup tinggi," terang Harry di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (24/1).
Lebih lanjut, ia juga meragukan status kepemilikan aset-aset yang masih menjadi milik negara selepas
gross split ini diberlakukan. Seharusnya aset-aset itu menjadi milik KKKS, mengingat pemerintah tidak mengganti aset tetap milik KKKS melalui skema
cost recovery.
"Menurut saya masalah kepemilikan ini agak tidak logis. Untuk itu, saya pikir skema
gross split ini tidak lebih baik dibanding
cost recovery," tuturnya.
Karena
gross split dianggap tidak lebih baik, ia menilai jika pemerintah seharusnya mempertahankan PSC
cost recovery sambil mengoptimalkan peran Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas).
"SKK Migas ini diarahkan saja bagaimana bisa
squeeze biaya-biaya yang dikeluarkan KKKS agar
cost recovery semakin hemat," jelasnya.
Untung RugiDi sisi lain, Vice President for Public and Government Affairs ExxonMobil Indonesia Erwin Maryoto mengatakan, KKKS tentu akan membandingkan untung rugi dengan PSC
cost recovery sebelum mengimplementasikan PSC
gross split.
Menurutnya, implementasi
gross split memang lebih sederhana dalam implementasinya. Namun, pasti akan ada negosiasi alot menjelang penandatanganan PSC sehingga KKKS mungkin akan mempertimbangkan hal tersebut sebelum mengelola Wilayah Kerja (WK) migas baru.
Di sisi lain, skema PSC
cost recovery terbilang sudah baik. Hanya saja, auditnya terbilang rumit karena terdapat beberapa instansi yang memeriksa
cost recovery tersebut. Jika proses audit ini dibuat sederhana, ia yakin banyak KKKS yang nyaman dengan skema kontrak bagi hasil tersebut.
"Jika PSC
cost recovery ini diperbaiki, mungkin akan lebih menarik bagi KKKS. Masing-masing sistem memiliki kompleksitas tersendiri, dan ini yang kami pertimbangkan sebelum mengelola lapangan-lapangan baru," terangnya.
Sebagai informasi, pemerintah akhirnya mengubah rezim PSC
cost recovery menjadi
gross split yang tercantum di dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017.
Gross split sendiri adalah skema bagi hasil produksi migas, di mana
split antara pemerintah dan KKKS dilakukan tepat setelah produksi migas bruto dihasilkan.
Sistem ini berbeda dengan PSC
cost recovery, di mana
split antara pemerintah dan KKKS akan dilakukan setelah produksi bruto dikurangi produksi tertentu dari sebuah blok migas (
First Tranche Petroleum/FTP) dan pemulihan biaya produksi migas yang dikeluarkan KKKS (
cost recovery).
Di dalam beleid tersebut, pemerintah menetapkan
split dasar bagi produksi minyak sebesar 57 persen bagi pemerintah dan 43 persen bagi KKKS. Sementara itu,
split dasar bagi produksi gas terbilang 52 persen bagi negara dan 48 persen bagi KKKS.
(gen)