Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengatakan tengah berkutat untuk mencari fasilitas fiskal eksplorasi pengganti prinsip
assume and discharge, atau pembebasan kewajiban Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam membayar pajak pajak dan retribusi atas barang-barang operasional hulu migas.
Rencananya, fasilitas fiskal ini akan dituangkan ke dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK), sebagai turunan dari revisi Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010.
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Goro Ekanto mengatakan, regulasi terkait hulu migas (fiscal regime) kedepannya tidak boleh menggunakan prinsip
assume and discharge karena dianggap menyalahi pasal 31 di Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut pasal tersebut, penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu migas mencakup pajak-pajak, bea masuk, dan pajak daerah.
Namun menurutnya, selama ini Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) selalu menginginkan
fiscal regime kembali ke masa
assume and discharge. Untuk itu, pemerintah memutar otak dalam memberikan fasilitas fiskal yang setara dengan
assume and discharged.
"Dengan ketentuan UU Migas, di situ ada ketentuan bayar pajak. Ini yang menjadi keberatan Wajib Pajak (WP) atau KKKS-nya. Ini perlu didiskusikan lagi, bagaimana mencari fasilitas fiskal yang bisa setara
assume and discharge. Ini tidak akan tercantum dalam revisi PP Nomor 79 Tahun 2010, tapi masuk ke PMK-nya," jelas Goro, Selasa (31/1).
Lebih lanjut ia mengatakan, fasilitas fiskal itu tak dimasukkan ke dalam badan revisi PP karena melihat kondisi lapangan migas yang ada di Indonesia. Menurutnya, keekonomian lapangan migas di Indonesia berbeda satu dengan lainnya. Sehingga, masing-masing lapangan migas membutuhkan perlakuan fiskal yang berbeda dan tidak bisa digeneralisasi di dalam Peraturan Pemerintah.
Maka dari itu, ia sangat berharap Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mau membantu menyusun instrumen kebijakan ini.
"Karena ranahnya sudah teknis, dan kami awam soal itu. Mungkin kalau masalah perhitungannya, kami bisa dilibatkan," lanjut Goro.
Ia berharap, PMK ini bisa segera terbit setelah revisi PP Nomor 79 Tahun 2010 diternitkan pemerintah. Menurutnya, saat ini pembahasan revisi PP Nomor 79 Tahun 2010 telah masuk ke Kementerian Koordinator bidang Perekonomian dengan lama proses sekitar satu bulan dari saat ini.
Setelah insentif ini keluar, ia juga berharap KKKS tak lagi membandingkan kondisi saat ini dengan prinsip
assume and discharge.
"KKKS masih butuh
assume and discharge, karena risikonya lebih kecil. Tapi menurut UU, kegiatan hulu migas harus dikenakan pajak. Semoga alternatif
assume and discharge ini bisa meringankan beban KKKS dalam melakukan eksplorasi," pungkas Goro.
Lima RevisiSebelumnya, pemerintah mengatakan terdapat lima poin utama yang akan dimasukkan ke dalam revisi PP Nomor 79 Tahun 2010.
Poin-poin tersebut terdiri dari penanggungan pemerintah atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor, PPN dalam negeri, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan bea masuk pada masa eksplorasi dan eksploitasi, hingga Pembebasan Pajak Penghailan (PPh) pemotongan atas pembebanan biaya operasi fasilitas bersama (
cost sharing) oleh Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) dalam rangka pemanfaatan barang milik negara di bidang hulu migas dan alokasi biaya
overhead kantor pusat.
Di samping itu, pemerintah juga akan memberi kejelasan atas fasilitas non fiskal seperti
investment credit, percepatan depresiasi, dan
Domestic Market Obligation (DMO)
Holiday dan pemberlakuan sistem
sliding scale, di mana pemerintah mendapatkan bagi hasil lebih apabila terdapat
windfall profit.
Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi di Indonesia. Menurut data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), investasi hulu migas tercatat sebesar US$12,01 miliar sepanjang tahun lalu. Angka ini lebih kecil 24,46 persen dibanding realisasi tahun sebelumnya sebesar US$15,9 miliar.
(gen)