Jakarta, CNN Indonesia -- PT Freeport Indonesia belum mengajukan Surat Persetujuan Ekspor (SPE) kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag) meskipun rekomendasi ekspor konsentrat telah dirilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pekan lalu.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendah Oke Nurwan menuturkan, selain Freeport perusahaan lain yang telah mendapat restu Kementerian ESDM untuk melakukan ekspor tapi belum mengajukan SPE adalah PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT).
"Sampai Jumat (17/2) kemarin, tidak ada pengajuan SPE dari kedua perusahaan tersebut," kata Oke, dikutip dari kantor berita Antara, Senin (20/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan telah menerbitkan Izin Rekomendasi Ekspor untuk Freeport dan AMNT, yang berlaku hingga satu tahun kedepan untuk izin ekspor mineral mentah.
Rekomendasi ekspor tersebut dikeluarkan berdasarkan surat permohonan Freeport bernomor 571/OPD/II/2017, tanggal 16 Februari 2017. Sementara rekomendasi ekspor bagi AMNT dikeluarkan berdasarkan surat permohonan Nomor 251/PD-RM/AMNT/II/2017, tanggal 17 Februari 2017.
Volume ekspor yang diberikan untuk Freeport adalah sebesar 1.113.105 Wet Metric Ton (WMT) konsentrat tembaga, berdasarkan Surat Persetujuan Nomor 352/30/DJB/2017, tertanggal 17 Februari 2017. Pemberian izin berlaku sejak tanggal 17 Februari 2017 sampai dengan 16 Februari 2018.
Sementara untuk AMNT, diberikan volume ekspor sebesar 675 ribu WMT konsentrat tembaga berdasarkan Surat Persetujuan Nomor 353/30/DJB/2017, pada tanggal dan untuk jangka waktu serupa dengan Freeport.
Seperti diketahui Freeport telah menghentikan kegiatan produksi sejak 10 Februari 2017 akibat pemerintah mensyaratkan perusahaan yang ingin tetap mengekspor mineral, harus mengantongi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai pengganti Kontrak Karya (KK).
Manajemen Freeport sendiri telah menyampaikan keberatannya atas syarat tersebut. Pasalnya pemegang IUPK diwajibkan untuk melakukan divestasi hingga 51 persen, yang berarti kendali perusahaan bukan lagi di tangan mereka. Bahkan, Freeport juga berencana untuk menggugat pemerintah ke Arbitrase Internasional.
Jonan pada Sabtu (18/2) menegaskan, wacana Freeport mengajukan persoalan kontrak ke arbitrase merupakan hak perusahaan tersebut. Langkah arbitrase, menurut Jonan, jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan pekerja sebagai alat menekan pemerintah.
"Korporasi global selalu memperlakukan karyawan sebagai aset yang paling berharga dan bukan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan semata," ujar Jonan.
Sementara itu, Freeport McMoRan Inc, induk perusahaan PT Freeport Indonesia, menilai pemerintah Indonesia telah memutuskan Kontrak Karya (KK) yang ditandatangani pada 1991 secara sepihak dengan mengubah statusnya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Presiden dan CEO Freeport McMoRan Inc Richard C. Anderson dalam jumpa pers di Jakarta, Senin, mengaku pihaknya tidak dapat melepaskan hak-hak hukum yang diberikan dalam Kontrak Karya 1991 silam. Perjanjian itu menyebutkan bahwa Freeport mendapatkan hak yang sama sebagaimana diatur dalam Kontrak Karya.
Berdasarkan catatan Freeport, melalui Kontrak Karya, perusahaan tersebut telah menginvestasikan US$12 miliar dan sedang melakukan investasi US$15 miliar dengan menyerap 32 ribu tenaga kerja Indonesia.
Pemerintah juga disebutnya telah menerima 60 persen manfaat finansial langsung dari operasi Freeport. Pajak, royalti dan dividen yang dibayarkan kepada pemerintah sejak 1991 telah melebihi US$16,5 miliar. Sedangkan Freeport McMoRan telah menerima US$108 miliar dalam bentuk dividen.