Jakarta, CNN Indonesia -- Survei Rumah.com, media promosi jual beli properti, melansir sekitar 45 persen masyarakat Indonesia belum siap untuk membeli properti. Hal ini dikarenakan nilai properti yang kelewat tinggi dan alasan lainnya, yaitu memiliki satu rumah cukup.
"Harga memang menjadi salah satu pertimbangan penting bagi konsumen dalam membeli hunian. Meski demikian, proyek-proyek perumahaan saat ini juga memiliki daya tarik luar biasa, karena pemerintah memberi dukungan lewat proyek infrastruktur yang sedang dibangun, siap beroperasi tahun ini," tutur Country Manager Rumah.com Wasudewan, mengutip Antara, Jumat (24/2).
Alasan tersebut disampaikan para responden menjawab pertanyaan mengapa mereka tidak membeli properti. Adapun survei tahunan yang dilakukan merupakan hasil kerja sama Rumah.com dengan lembaga riset Intuit Research Singapura bersama 1.030 responden pada November-Desember 2016.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam survei bertajuk Rumah.com Property Affordability Sentiment Index itu disebutkan bahwa proyek infrastruktur yang dibangun pemerintah ikut memengaruhi harga properti. Antara lain, ruas tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) yang selama lebih dari 20 tahun mangkrak dan tengah dilanjutkan kembali pembangunannya. Ada juga ruas tol Semarang-Salatiga.
"Saat proyek infrastruktur ini mulai beroperasi, harga properti akan ikut bergerak naik. Inilah yang harus dipahami oleh para pencari properti, sehingga dapat menilai harga hunian dalam jangka panjang pula," katanya.
Survei juga mencatat bahwa 46 persen masyarakat Indonesia merasa bahwa pemerintah telah melakukan usaha yang cukup baik untuk membantu pemburu properti mewujudkan hunian idaman.
Jumlah ini meningkat dari tahun lalu yang hanya berkisar 36 persen. Ini adalah respon positif masyarakat terhadap berbagai kebijakan pemerintah dalam membantu mewujudkan hunian idaman masyarakat.
Pemerintah, sambung Wasudewan, memang telah mengeluarkan beragam kebijakan untuk membantu masyarakat memiliki rumah, mulai dari penurunan batas uang muka kredit perumahan atau Loan To Value (LTV), penyederhanaan regulasi bagi pengembang, program sejuta rumah hingga amnesti pajak.
"Sehingga, pengusaha menilai masyarakat memiliki harapan tinggi terhadap dampak amnesti pajak terhadap industri properti yang lebih bergairah dan harga yang lebih terjangkau," ucapnya.
Sementara itu, Survei Harga Properti Residensial di Pasar Primer dari Bank Indonesia (BI) yang dirilis pada Februari 2017 juga mengungkapkan bahwa sejumlah faktor utama yang dapat menghambat pertumbuhan bisnis properti, yakni suku bunga KPR (19,91 persen), uang muka rumah (18,39 persen), perijinan (16,15 persen), pajak (13,76 persen) dan kenaikan harga bangunan (13,54 persen).
Hasil survei ini juga mengindikasikan bahwa sebagian besar konsumen properti (77,22 persen) masih memilih skema kredit sebagai fasilitas utama dalam melakukan transaksi pembelian properti residensial.
(bir)