Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memperkirakan, kinerja perdagangan ekspor Indonesia ke China akan tetap stabil, meski pertumbuhan ekonomi China diproyeksi mengendur dari kisaran 6,7 persen jadi 6,5 persen pada tahun ini.
Menurut dia, struktur ekspor Indonesia tidak akan berubah, mulai dari ekspor komoditas hingga produk hasil industri tetap berada di posisinya masing-masing. Artinya, tidak ada kecenderungan pengalihan komoditas atau produk ekspor tertentu ke China dari Indonesia.
"Ekspor kita ke China itu tetap saja komposisinya. Ada industri, ada hasil tambang, hasil sumber daya alam, tetap banyak, tetapi tidak termasuk besarlah," ujarnya di kantornya, Senin (6/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kinerja ekspor Indonesia tidak akan berubah banyak sebab perlambatan pertumbuhan ekonomi China hanya turun 0,2 persen. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kinerja ekspor Indonesia ke China masih menjadi yang paling besar pada Januari lalu.
Tercatat, ekspor non-migas Indonesia ke China mencapai US$1,55 miliar, tertinggi setelah ekspor Indonesia ke Amerika Serikat (AS) senilai US$1,42 miliar, India senilai US$1,31 miliar, dan Uni Eropa senilai US$1,36 miliar.
Hal ini sejalan pula dengan kinerja perdagangan impor Indonesia dari China yang tercatat berada pada posisi puncak, yakni mencapai US$2,92 miliar.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Mohammad Faisal menilai, proyeksi pertumbuhan ekonomi China didasari pada penurunan ekspor Negeri Tirai Bambu. Namun demikian, dari sisi konsumsi domestik China diprediksi tetap besar dan menjadi roda pertumbuhan ekonomi yang utama.
Melihat hal ini, Faisal menyebutkan, ini menjadi sinyal yang baik bagi perdagangan ekspor Indonesia. Pasalnya, ekspor Indonesia diperkirakan dapat meningkat dengan menggenjot tujuan ke China yang tingkat konsumsinya masih tinggi.
"Ini harusnya ditangkap oleh pemerintah dan dunia usaha dalam negeri. Kita punya peluang ekspor lebih besar," kata Faisal kepada CNNIndonesia.com.
Untuk jenis ekspor, Faisal melanjutkan, peluang terbesar berasal dari peningkatan ekspor hasil industri manufaktur ke China, terlebih dengan adanya potensi konsumsi yang masih besar.
Sedangkan, ekspor komoditas diperkirakan tidak terlalu berpeluang untuk meningkat tajam. Pasalnya, perlambatan pertumbuhan ekonomi China disinyalir berasal dari pelemahan industri, termasuk manufaktur, sehingga komoditas yang menjadi bahan baku industri manufaktur diperkirakan bergerak stagnan.
"Produknya manufaktur, dulu sangat dominan di komoditas karena manufakturnya tinggi, tapi sekarang manufaktur kita yang harus ke sana, menggantikan pasar komoditas," jelasnya.
Kucuran InvestasiTak hanya dari sisi perdagangan, Faisal menilai, pemerintah dan dunia usaha Indonesia bisa memanfaatkan peluang banjir investasi dari China. Pasalnya, dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang melambat, ada peluang China justru memperbesar investasinya, termasuk ke Indonesia.
"Dulu, China fokus kepada manufaktur, sekarang mulai terlihat ke investasi, dia menyasar negara-negara yang sumber daya alam besar, pasar besar, dan ini dimiliki Indonesia," terangnya.
Hal ini, lanjut Faisal, harus diikuti dengan kesiapan industri dalam negeri untuk menerima berbagai investasi dari China, sehingga di satu sisi, industri dalam negeri juga bisa meningkat produktivitas dan daya saingnya.
Adapun berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), nilai investasi dari China ke Indonesia berada di posisi kedua dengan nilai mencapai US$1,07 miliar yang mengalir ke 520 proyek di sepanjang tahun lalu.
Investasi dari China ini mengalahkan nilai investasi dari Jepang sebesar US$902,7 juta dan Amerika Serikat sebesar US$731,5 juta. China hanya kalah dari Singapura dengan nilai investasi mencapai US$2,05 miliar yang mengalir ke 2.028 proyek.
(bir)