Jakarta, CNN Indonesia -- Perkumpulan Ahli Lingkungan Indonesia (Indonesian Environmental Scientists Association/IESA) mengingatkan agar pembangunan nasional yang dirancang Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) harus menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Sebab sumber daya alam yang dimiliki Indonesia sangat terbatas.
Ketua Umum IESA Tri Edhi Budhi Soesilo mengungkapkan, tantangan utama pembangunan nasional saat ini antara lain, terus bertambahnya jumlah penduduk yang mendorong meningkatnya kebutuhan dan keinginan atas barang dan jasa.
Di sisi lain, sumber daya alam tidak terbarukan semakin terbatas dan terjadi deplesi (penyusutan) kapital alam. Sementara tingkat pengetahuan dan ketrampilan di Indonesia yang masih rendah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Pada kenyatannya, teknologi tidak mampu menggantikan sebagian besar fungsi sumber daya alam dan jasa lingkungan,” kata Tri, dikutip Senin (20/3).
Mengutip proyeksi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Tri menyebut jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 305,6 juta jiwa pada 2035 mendatang.
Sementara berdasarkan perhitungan Kementerian energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada 2009 cadangan minyak mentah Indonesia akan habis dalam kurun 22,9 tahun, gas habis dalam 58,9 tahun, dan batubara habis dalam 82 tahun.
“Sementara menurut kajian UNDP 2014, indeks pembangunan manusia di Indonesia saat ini baru mencapai 0,684 dan berada di rangking 110. Sedikit di atas Filipina yang berada di peringkat 115, namun jauh di bawah Tiongkok yang berada di peringkat 90,” katanya.
Dalam situasi tersebut, bencana alam di Indonesia justru menunjukan peningkatan. Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kejadian bencana di Indonesia naik dari 143 kejadian pada tahun 2002 menjadi 1.967 kejadian pada tahun 2014.
Ia mencatat sekitar 98 persen dari total kejadian bencana per tahun, adalah bencana hidrometeorologis seperti banjir, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan dan lahan.
“Tren bencana ke depan diproyeksi BNPB akan terus meningkat dikarenakan perilaku manusia atau antropogenik,” ujar Tri.
Ketua Bidang Kerjasama dan Komunikasi IESA Mahawan Karuniasa menambahkan, meningkatnya bencana hidrometeorologis tak bisa lepas dari perubahan iklim yang saat ini terjadi.
“Ini menjadi tantangan tersendiri dalam pembangunan nasional,” kata Mahawan yang juga merupakan perwakilan Indonesia di konvensi kerangka kerja PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC) di Paris, Perancis beberapa waktu lalu.
Pada tahun 2012 lalu, Indonesia menghasilkan emisi karbondioksida sebanyak 435,5 metrik ton (MT) atau 4,5 persen dari total emisi global. Emisi dari sektor energi menyumbang 25 persen dari catatan emisi Indonesia.
Jika emisi karbondioksida dirinci, sebanyak 42,1 persen berasal dari pembangkit listrik, 21,6 persen dari industri manufaktur dan konstruksi, 29,5 persen dari transportasi, dan 6,8 persen emisi berasal dari perumahan, komersial, layanan publik, pertanian dan kehutanan.
Indonesia sudah mencanangkan komitmen untuk menurunkan emisi karbondioksida secara sukarela sebesar 26 persen pada 2020 mendatang, dan bisa mencapai 41 persen dengan bantuan internasional.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kerakyatakan sendiri, Jokowi telah berkomitmen memperluas akses rakyat terhadap lahan. Pemerintah memiliki program perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare dan reforma agraria seluas 9 juta hektare.