Jakarta, CNN Indonesia --
Manajemen PT Express Transindo Utama Tbk, operator taksi konvensional Express meragukan pemberlakuan pembatasan tarif atas dan tarif bawah taksi
online, yang diatur melalui revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016.
Aturan yang bakal berlaku 1 April mendatang tersebut, masih membuat manajemen Express ragu aturan tersebut bisa efektif diterapkan. Sebab pemerintah tidak menjelaskan bagaimana cara membatasi dan memonitor tarif taksi
online.
Direktur Express Herwan Gozali, menjelaskan untuk melihat tarif taksi biasa bisa dilihat melalui argometer. Sementara untuk taksi
online berdasarkan aplikasi yang tertera di telepon genggam pengguna layanan taksi tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi taksi biasa bisa dilihat dengan uji tera argometer. Kalau taksi
online pakai
smartphone. Alat apa yang bisa digunakan oleh Kemenhub untuk memonitoring tarif?” kata Herwan dikutip dari detikFinance, Kamis (23/3).
Ia mengaku belum tahu jika pemerintah telah memiliki perangkat yang tepat untuk melakukan uji tera pada aplikasi. Apalagi data aplikasi bisa dengan mudah dimanipulasi.
"Kalau tera argo bisa dikontrol. Sekarang (taksi
online) media kontrolnya ada tidak?" tambahnya.
Bukan hanya itu, Herwan juga meragukan keakuratan pendataan jumlah armada dari sebuah taksi
online. Sementara perusahaan penyedia taksi biasa diharuskan untuk menyerahkan data jumlah armadanya sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan izin operasi.
"Misalnya saya ajukan izin taksi 1.000 unit, saya harus serahkan daftar supir 1.000 orang, itu untuk kontrol pemerintah. Kemudian harus ada
pool. Ada tim pengecekan ke
pool dari 3-4 instansi ada dari Kemenhub sampai Badan Koordinasi Penanaman Modal. Kemudian ada izin lingkungan, setelah itu baru dapat izin operasi. Kalau taksi
online ada
pool-nya tidak?" tandasnya.
Atas dasar hal itu, Herwan mempertanyakan cara pemerintah mengontrol tarif taksi
online jika memang ingin memberikan batasan tarif atas dan bawah.
"Saya tidak percaya bisa efektif. Dasarnya apa, cuma di atas kertas saja. Pemerintah tidak bisa kontrol jumlahnya. Ya mungkin diterapkan cuma tidak efektif," tegasnya.
Herwan mengatakan, jika aturan tersebut dianggap sebagai jawaban atas polemik selama ini seharusnya bisa diterima oleh semua pihak. Namun nyatanya masih menimbulkan penolakan.
"Harusnya dibuat supaya
win-win solution dong. Kalau menurut pemerintah itu sudah
win-win solution, tapi letupan masih terus terjadi. Terus kenapa masih ada ribut seperti di Surabaya, Medan, Bogor, Tangerang?," ucapnya.