Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) memprotes petisi anti dumping dan anti subsidi biodiesel yang diusulkan oleh Dewan Biodiesel Amerika Serikat (AS) dan 15 perusahaan penghasil biodiesel di Negeri Paman Sam melalui National Biodiesel Board Fair Trade Coalition pada Kamis lalu (23/3).
Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan mengungkapkan, petisi anti dumping dan anti subsidi tersebut berpotensi menggerus nilai ekspor biodiesel dari Indonesia ke AS. Pasalnya, petisi tersebut menghendaki pengenaan tarif pajak yang tinggi terhadap ekspor biodiesel Tanah Air.
"Ekspor biodiesel bisa semakin kecil jika isi petisi dikabulkan pemerintah Amerika Serikat. Diperkirakan tarif pajak akan naik sekitar 34 persen andaikata petisi dikabulkan," ujar Paulus dalam keterangan tertulis, Minggu (26/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sentimen ini diperkirakannya akan langsung berdampak pada realisasi ekspor biodiesel. Padahal, dalam dua tahun terakhir, ekspor biodiesel ke AS tengah mengalir deras.
Bahkan, pertumbuhannya mencapai 116,98 persen, yakni sebanyak 51.280 juta galon pada 2014 dan melonjak hingga 111.272 juta galon pada 2016 lalu. Sayangnya, Paulus belum bisa merinci berapa potensi penurunan ekspor biodiesel yang harus ditopang Indonesia bila petisi tersebut diterima dan dijalankan.
Bila kinerja ekspor mengalami penyusutan, lanjut Paulus, diperkirakan hasil biodiesel dari kapasitas terpasang yang mencapai 10,07 juta ton sulit dijual ke negara lain. Di saat yang bersamaan, distribusi hasil produksi tak bisa mengandalkan konsumsi dalam negeri untuk melahap kelebihan produksi. Pasalnya, konsumsi domestik hanya sekitar 25 persen dari total produksi.
"Yang jelas, pasar ekspor kian mengecil apalagi setelah tidak adanya ekspor ke Uni Eropa," kata Paulus.
Senada dengan Paulus, Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga melihat bahwa target ekspor biodiesel tahun ini, yakni mencapai 500 ribu ton akan sulit dicapai bila Donald Trump tanpa pikir panjang langsung meneken petisi tersebut. Sebab, seperti diketahui, Donald Trump sangat gencar menyerukan proteksionisme terhadap produk dan pasar dalam negeri AS.
Dengan begitu, harga produk turunan sawit akan semakin tak kompetitif di pasar Amerika. Imbasnya, sejumlah komoditas subtitusi sawit yang akan merangkak naik di pasar AS, misalnya minyak kedelai.
"Upaya proteksionisme ini dilakukan karena harga kedelai sulit bersaing dengan sawit. Harga sawit lebih murah US$150 per ton karena produktivitasnya lebih tinggi," tutur Sahat.
Curigai Indonesia dan ArgentinaDewan Biodiesel AS dan sejumlah produsen biodiesel AS sengaja mengeluarkan petisi dan meminta Kementerian Perdagangan dan Komisi Perdagangan Internasional negara adidaya itu untuk melakukan investigasi terhadap hasil ekspor biodiesel dari Indonesia dan Argentina. Selain melakukan investigasi, dalam petisi tersebut juga meminta pemerintah AS untuk menerapkan tindakan anti subsidi dan anti dumping terhadap Indonesia dan Argentina.
"Tujuan akhir petisi ini mengusulkan bea masuk tinggi kepada produk biodiesel Indonesia dan Argentina," kata Paulus.
Hal ini dilakukan lantaran Dewan Biodiesel AS mencurigai bahwa Indonesia dan Argentina menggunakan langkah subsidi dan dumping harga untuk biodiesel yang dipasarkan di AS.
Menurut Paulus, dugaan berasal dari langkah pengenaan subsidi biodiesel yang didapat dari pungutan pajak minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) yang dipungut oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS).
"Adapula dasar pemberian
tax allowance kepada industri biodiesel. Sekitar 53 komponen menjadi argumen petisi ini," ujar Paulus.