Jakarta, CNN Indonesia -- PT Bank Mandiri (Persero) Tbk meminta pemerintah dan perbankan terlebih dulu menyepakati Standar Operasional Prosedur (SOP) dan struktur data transaksi nasabah kartu kredit, sebelum bank menyerahkan data terkait kepada pemerintah. Sebab, mustahil apabila perbankan memberikan seluruh data transaksi nasabahnya.
Lagipula, Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, data transaksi yang diminta tentunya data yang dianggap mencurigakan dan berkaitan dengan kepatuhan pajak nasabah. "Harapan kami, sebisa mungkin tidak langsung (data) detil. Saat ini, kami sedang diskusikan apakah perlu dibuka sedetil itu?" ujarnya, Kamis (30/3).
Ia mencontohkan, struktur data transaksi nasabah dapat melihat dengan apa yang telah disepakati Bank Mandiri dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk penyidikan kasus pencucian uang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan kesepakatan yang dijalin Mandiri dengan PPATK, Mandiri akan memberikan data transaksi yang masuk ke dalam kategori mencurigakan sesuai dengan apa yang telah didefinisikan bersama dengan PPATK.
Sedangkan PPATK memberikan bukti awal permulaan terlebih dahulu kepada perbankan sebagai alasan untuk membuka data nasabah yang bersangkutan. "Biasanya ada bukti awal tindakan pidana. Bukti awal digunakan oleh eaksa untuk meminta data detil terkait transaksi nasabah dan pendanaannya. Saya harapkan, sama dengan yang kami lakukan dengan PPATK," jelas Tiko.
Dengan menyepakati SOP dan struktur data tersebut, sambung dia, pemerintah dan perbankan memiliki aturan main yang lebih jelas terkait pembukaan data transaksi nasabah yang selanjutnya digunakan untuk melihat kepatuhan pajak.
Selain itu, meski sistem keterbukaan informasi (Automatic Exchange of Information/AEoI) akan berlaku pada 2018 mendatang, namun perbankan tetap harus menghargai privasi data nasabah.
Selain itu, nasabah dinilainya perlu diberikan sosialisasi terlebih dahulu terkait rencana pemerintah mengubah aturan main untuk mengintip data nasabah tersebut. Sebab, beberapa nasabah disebut Tiko cukup grogi dengan rencana pemerintah ini.
"Ini isu yang cukup hangat di kalangan nasabah, terlebih terkait surat dari Direktorat Jenderal Pajak untuk membuka data kartu kredit mereka. Nasabah pasti grogi karena selama ini mereka tidak mengalami," imbuh Tiko.
Hanya saja, Tiko menyebutkan bahwa Bank Mandiri telah mencoba memberikan sosialisasi dini terkait rencana pemerintah ini, yakni dengan meyakinkan nasabah agak tak khawatir apabila telah mengikuti program pengampunan pajak atau tax amnesty.
"Saya sampaikan, bila nasabah sudah ikut tax amnesty dan sudah melaporkan secara utuh aset dan dana mereka, seharusnya tidak perlu khawatir lagi," imbuhnya.
Namun begitu, Tiko memastikan bahwa Bank Mandiri mendukung langkah pemerintah untuk menjalankan sistem keterbukaan informasi sesuai dengan komitmen Indonesia dalam forum negara-negara G20. Toh, banyak negara sudah menerapkan hal ini, sehingga bukan sesuatu yang aneh untuk ikut serta dalam sistem AEoI tersebut.
Di sisi lain, langkah ini bisa mendukung pemerintah untuk menegakkan ketaatan pembayaran pajak para wajib pajak di Tanah Air. Hal ini dipercaya juga mampu mengerek kepatuhan wajib pajak.
"Kami ingin bagaimana bisa membantu DJP, tetapi di sisi lain tidak mengganggu nasabah terkait kerahasiaan perbankan," tutup Tiko.
Seperti diketahui, pemerintah melalui Surat Kementerian Keuangan Nomor S-119/PJ.10/2017 yang ditandatangani oleh Direktur Teknologi Informasi dan Perpajakan DJP Lusiani pada 23 Maret 2017 meminta 22 bank atau lembaga penyelenggara kartu kredit untuk memberikan data transaksi kartu kredit nasabah.
Adapun data nasabah yang diminta DJP Kemenkeu merupakan data pokok pemegang kartu kredit periode Juni 2016 sampai Maret 2017 untuk seluruh pemegang kartu kredit dan data transaksi kartu kredit periode data Juni 2016 sampai Maret 2017 untuk seluruh pemegang kartu kredit.