Kuartal I 2017, Penjualan Industri Ritel Melorot 20 Persen

CNN Indonesia
Selasa, 04 Apr 2017 18:25 WIB
Aprindo menyebut, bisnis ritel pada Januari-Februari tercatat seret. Baru bergerak positif pada Maret. Namun, itu pun tak mampu mendongkrak pertumbuhan berarti.
Aprindo menyebut pertumbuhan penjualan ritel melorot 20 persen pada kuartal I 2017 dibanding periode yang sama tahun lalu. Bisnis ritel terlihat seret pada Januari-Februari dan baru bergerak positif pada Maret. Itu pun tak mampu mendongkrak pertumbuhan berarti. (CNN Indonesia/ Yuliyanna Fauzi).
Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyebut pertumbuhan penjualan industri ritel anjlok 20 persen sepanjang kuartal I 2017 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp40 triliun.

Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey mengungkapkan, pertumbuhan bisnis industri ritel tercatat seret di sepanjang Januari dan Februari. Namun, mulai bergerak positif di Maret. Kendati demikian, pergerakan pada Maret tak mampu mengangkat pertumbuhan kuartal I secara kumulatif.

"Pertumbuhan ritel di kuartal I masih minus. Tahun lalu, bisa Rp40 triliun, kuartal I 2017 ini sepertinya kurang dari Rp30 triliun," ujarnya di Kementerian Perdagangan, Selasa (4/4).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Roy, ada beberapa sentimen yang membuat industri ritel tak bergairah dalam tiga bulan pertama di tahun ini. Pertama, perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang membuat masyarakat cenderung khawatir dan menahan diri untuk berbelanja, khususnya di toko-toko ritel.

Kedua, program pengampunan pajak atau tax amnesty. Menurutnya, masyarakat juga menahan diri untuk berbelanja lantaran pemerintah tengah gencar-gencarnya menagih kepatuhan pajak para wajib pajak.

Namun, Roy memastikan, sikap menahan diri untuk berbelanja itu tak serta merta membuat daya beli atau kemampuan konsumsi masyarakat melemah. Sebab, setiap tahun seharusnya daya beli masyarakat meningkat seiring dengan pertumbuhan upah atau gaji pegawai.

"Daya beli tidak hilang, tapi ada kegalauan masyarakat melihat situasi pilkada, masih banyak yang gerah dengan demo dan lainnya. Ini pekerjaan rumah untuk pemerintah," imbuh Roy.

Makanya, Roy meminta, pemerintah turut menjamin industri ritel dengan memberikan sentimen-sentimen positif. Misalnya, memberikan keamanan dan kepastian untuk menghidupkan kembali gairah konsumsi masyarakat.

Apabila konsumsi masyarakat meningkat, sambung Roy, hal ini tak hanya berdampak pada industri ritel, namun lebih luas lagi hingga ke pertumbuhan ekonomi Indonesia. Apalagi, konsumsi masyarakat menjadi penopang terbesar Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Pesimis Catat Kinerja Kinclong

Melihat pertumbuhan bisnis industri ritel kuartal I yang cenderung merosot, diperkirakan peluang bisnis hingga tutup tahun nanti tidak akan memuaskan seperti tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, Aprindo hanya mematok pertumbuhan persis dengan tahun lalu.

"Pada 2015 (pertumbuhan) hanya 8 persen. Lalu, 2016 hampir 9 persen. Harapan kami, tahun ini bisa ditutup setidaknya 9 persen-10 persen. Jadi, belum kembali seperti tiga sampai lima tahun lalu yang mencapai 12 persen sampai 15 persen," tutur Roy.

Aprindo berharap, pada periode April-Juni, pertumbuhan industri ritel bisa terdongkrak momen Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada kuartal II. Secara histroris, pada momen inilah pertumbuhan ritel terdongkrak.

Namun begitu, masih ada bayang-bayang sentimen di sisa sembilan bulan terakhir terkait pengaturan Harga Eceran Tertinggi (HET) oleh pemerintah hingga aturan yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2007 mengenai Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern.

Roy memperkirakan, pengaturan HET tidak akan memberi dampak kerugian. Tetapi, persoalannya, pertumbuhan sektor ritel diperkirakan tak berkembang pesat lantaran harganya diatur oleh pemerintah, khususnya untuk komoditas gula, minyak goreng, termasuk daging sapi.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER